Pau lipu* pasti tahu dan kenal bangat
dengan peganan yang satu ini. Jika tidak, berarti, logikanya, dia bukanlah
seorang pau lipu, bukanlah seorang pau Banggai. Jika tidak, he/she must be crazy (ungkapan untuk
sesuatu yang susah dipercaya). Pun jika tidak, dia pasti anak yang baru lahir 5
tahun yang lalu, dimana kue kanjoli
sudah jarang ditampakkan batang hidungnya di kehidupan kita, di pasar-pasar,
pada pagi atau sore hari, ketika terdengar suara anak kecil menjajakannya. Kanjoli doooi, kanjoli doooii…
Ya, kanjoli.
Ketika mendengar kata itu disebutkan, terbesitlah di benak kita akan gambaran
sebuah, sesuatu yang berbentuk oval, warnanya sedikit kekuning-kuningan atau
kecoklatan, yang tentunya bisa dimakan, apalagi ketika diikutkan dengan dabu-dabu-nya. Hmm…semua orang bisa ngiler dibuatnya. Penganan atau kue asli
Banggai ini rasanya benar-benar luar biasa. Maknyosss.
Jika saja Pak Bondan dan acara Wisata Kuliner sempat bertandang ke Banggai dan
mencoba penganan ini pasti demikianlah katanya.
Kanjoli
terbuat dari umbi singkong yang telah diparut atau dicukur hingga halus,
dipisahkankan kadungan air dan saripatinya, kemudian saripati umbi singkong
tersebut dikeringkan. Saripati umbi singkong (orang di daerahku biasa
menyebutnya dapit) ini kemudian
dibentuk bulatan-bulatan sedang, panjang dan lebarnya sekitar 6-7 cm x 3 cm,
tak lupa diisikan tajabu ikan di
dalamnya, dan siap digoreng hingga matang.
Singkong
(orang Banggai menyebut Kasbii),
sebagai bahan baku peganan kanjoli, mempunyai beberapa jenis, seperti Kasbii Pau, dan Kasbii Ndalangon. Masing-masing jenis dari singkong atau kasbii ini akan menentukan taste dan kegurihan peganan kanjoli.
Kata orang, jenis Singkong Ndalangon-lah
menghasilkan peganan kanjoli dengan rasa yang benar-benar maknyoss. Saya pun sudah pernah mencobanya. Rasanya memang berbeda,
dan terdapat sedikit “kelembutan” dalam isi/daging peganan kanjoli.
Pada umumnya,
di beberapa daerah di Banggai, kanjoli disajikan bersama dabu-dabu. Namun di beberapa daerah lainnya, seperti di daerah
tempat saya berdomisili, di Kecamatan Liang, kanjoli tak disajikan dengan
dabu-dabu atau sambal jenis lainnya. Tak tahu kenapa. Semenjak saya lahir dan
besar disana, penganan kanjoli, yang juga menjadi penganan number wahid saya,
tak pernah disajikan dengan dabu-dabu.
Penjaja kanjoli pun tak ada yang mengikutsertakan dabu-dabu sebagai salah satu atribut peganan kanjoli. Saya hanya
beberapa kali mencoba kanjoli ber-dabu-dabu
di daerah Ipar saya di Kecamatan Banggai, dan rasanya benar-benar komplit:
enak dan luar biasa maknyoss.
Berbicara
tentang peganan Kanjoli, bulan lalu, kakanda sekaligus ‘bos’ saya memposting
beberapa kalimat tentang kanjoli di facebook. Menurutnya, peganan kanjoli yang
merupakan buatan asli nenek moyang pau
lipu Banggai, sudah hampir punah, sehingga perlu adanya pelestarian peganan
tersebut. Kenyataannya memang benar. Seperti yang saya sebutkan pada bagian
pembuka di catatan ini, beberapa tahun terakhir ini, peganan kanjoli sudah
jarang terlihat di pasar-pasar ataupun yang dijajakan oleh anak-anak di
kampung-kampung.
Itulah
patutnya kita menjaga dan melestarikan budaya daerah kita sendiri yang
merupakan titipan nenek moyang kita. Patutnyalah kita melestarikan kue Kanjoli
agar ia tak luput dan termakan zaman. Agar pula ia menjadi salah penanada ragam
budaya Banggai. Suatu bangsa atau suku dikenal dan diingat berdasarkan
budayanya. Sehingganya, marilah kita tetap mempertahankan eksistensi budaya
Banggai dengan melestarikan peganan asli Banggai ini.
Note : * (orang asli Banggai)
Note : * (orang asli Banggai)
0 komentar
Silahkan Beri Komentar Saudara...