Akhirnya kipas angin itu tumbang juga. Disela-sela nafas
terakhirnya mungkin saja ia telah berbisik atau mengerang kesakitan ketika
kekuatan terakhinya musnah, ketika ajalnya telah di ubun-ubun. Tapi aku tak
mendengar sedikitpun suaranya.
Kusentuh kipas angin itu. Kugerakkan baling-balingnya. Tak
mau bergerak. Nyawanya nampak telah kosong, lenyap entah kemana. Tapi aku tahu,
jiwanya masih hidup. Nada-nada jiwanya masih berbunyi, masih memanggil. Aku
bisa merasakannya. Mungkinkah ia hanya mati suri? Oh tidak, ia bukan manusia.
Kipas angin itu memang telah berumur. Sudah seharusnya ia
tumbang. Ia juga sudah terlalu lama mengabdikan dirinya untukku, hidup
bersamaku. Hidup dengan 70% bekerja setiap harinya. Kadang ia pun harus
non-stop kerja, menemaniku seharian di rumah ketika matahari betul-betul naik
pitam hingga ozon pun menjerit-jerit melebihi jeritan manusia. Logo di tubuh
kipas angin itu pun sudah mengisyaratkannya sejak dulu, “Tiga Tahun Garansi
Motor”. Kini telah empat tahun usia kipas angin itu, telah melewati batas
jadwal pensiun.
Aku masih ingat ketika pertama kali aku menyapa kipas angin itu
di toko kecil yang aku sambangi di sebuah pasar. Ia mugkin saja tersenyum
bahagia melihat diriku bertransaksi dengan kasir di toko itu hingga ia
dibungkus dalam kardusnya dan kutenteng – aku membelinya. Pun aku masih ingat
ketika kekutan pertamanya ia tunjukkan padaku, ketika aku tekan tombolnya dan
baling-balingnya bergerak secepat kilat. Aku hampir saja dibuat tertidur
olehnya. Tapi sekarang hal itu tak mungkin terjadi lagi. Bergerak sedikit saja
ia tak mau.
Dulu, warnanya masih cling, masih cantik. Hijau juga sedikit
berbalut merah di kakinya. Baling-balingnya berwarna putih, tak terlihat noda
sedikitpun. Tapi sekarang kulitnya sudah pucat pasi, tak terawat. Baling-baling
putihnya berlumuran plak. Ia bahkan tak punya lagi tameng bundar dari kawat
yang melindungi baling-balingnya – aku membukanya. Ia tak indah lagi.
Beberapa bulan terakhir ini memang aku sering memasukkan
kipas angin itu ke bengkel, bengkel milikku sendiri. Ahli membongkarnya pun
adalah aku sendiri, juga ilmu membongkarnya lahir dari kumpulan ide-ideku
sendiri yang menjunjung tinggi trial and
error. Jadi, aku mungkin saja telah melakukan malpraktek pada kipas angin
itu jika memang kelumpuhannya dominan berasal dari hasil olahan bengkelku. Tapi
aku tak tahu. Mudah-mudahan saja bukan, bukan aku penyebab kelumpuhannya.
Anda tahu tidak, kipas angin itu telah banyak bermandikan do’a
dan harapan. Pun dengan cacian dan hinaan. Dihari-hari ketika nafasnya sudah
tak beraturan dan ia lelah, aku banyak berharap ia bisa kembali semangat,
menunjukkan kekuatan jiwa mudanya, dan menemaniku menegeringkan peluh-peluh
yang harus aku nikmati tiap hari. Disaat-saat aku memperbaikinya, ia pula tak
luput dari cacian yang aku lontarkan karena ia tak mampu lagi berdesing.
Aku tahu, kipas angin itu sudah sepantasnya dicarikan
kembarannya yang baru, yang masih gesit, seperti dirinya dulu. Tapi aku masih
menunggu keputusan dan waktu yang tepat untuk mewujudkannya. Aku pun sebenarnya
tak tega melepaskan kipas angin itu begitu saja, atau bahkan membuatkannya tempat
yang indah di tempat bernaungnya barang-barang bekas dan kotoran-kotoran lain.
Aku masih membutuhkannya, sekalipun ia sudah tak bernyawa. Mugkin saja
keajaiban bisa membangunkannya suatu hari….
0 komentar
Silahkan Beri Komentar Saudara...