Selamat membaca
Blue Moon: “Temuilah aku disini, beberapa menit sebelum waktu shalat tiba.”
semoga bermanfaat

WIDGET

Label

Total Tayangan Halaman

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Followerku

BlogRoll

Blogger news

Blue Moon: “Temuilah aku disini, beberapa menit sebelum waktu shalat tiba.”

Bahagia itu nikmat, senikmat kopi dengan moka putih.

Blue Moon: “Temuilah aku disini, beberapa menit sebelum waktu shalat tiba.”





Sebuah Cerpen, Oleh: Abdi Masbara Lumbon


“…Aku sering disini, jika tak ada yang aku kerjakan di rumah, jika perasaanku lagi tak begitu bersahabat. Aku melepas semuanya disini, di Mesjid ini.…Ayuk kita shalat dulu, sudah waktunya Ashar. Tuh sudah bunyi adzan. Sebentar kita lanjutkan…”


Adi sejak tadi masih mematung di balik pagar, matanya tak berkedip. Ia setengah melongo. Pandangannya tertumpah pada seseorang yang tak jauh disana, di seberang jalan dari rumahnya, di warung pak Mimin. Sesosok wanita. Ya, sejak tadi pandangan Adi seperti telah terikat, tak mampu digerakkan, tak mampu ditolehkan pada objek pandang yang lain selain dari wanita berbalut gaun biru cerah dengan jilbab yang menutupi kepala hingga ke pundaknya, wanita yang sedang mengantri bersama pelanggan lainnya di warung pak Mimin.

Adi terus mengamati. Ia seakan tersihir dibuatnya.

“Sungguh luar biasa ciptaan Tuhan,,,siapa kah wanita yang serba biru itu?” Adi bergumam dalam hati. Makhluk apakah yang sepagi itu sudah menggetarkan hatinya, melumpuhkan tembok-tembok kokoh dalam jiwanya, membekukan pandangannya.

Bagaimana tidak, wanita itu, dari jauh pun sudah memancarkan pesona keanggunannya, seperti pesona ratu Cleopatra. Matanya yang indah, lebih indah dan lebih terang dari bintang kejora, hidungnya yang mancung laksana hidung bidadari-bidadari produksi Timur Tengah, pipi dan dagunya pun indah serta kulitnya putih bersih. Betul-betul Adi saat itu seperti Julius Caesar yang telah dimabuk kepayang oleh keanggunan Ratu Cleopatra, seperti pula Jaka Tarub yang dibuat melongo oleh kecantikan para Bidadari dari Kahyangan.

“Perfect. Blue Moon, siapakah namamu? ” Ia kembali bergumam.

Pesona wanita itu kian merasuk pikiranya,  mengantarnya kedalam hayalan yang begitu tinggi, hingga ia melupakan tugasnya merapikan bunga di halaman depan, yang sedari tadi dilakukannya tapi terhenti sejenak saat kemunculan wanita misterius berbalut pakaian serba biru itu. Blue Moon. Demikian ia menamakannya. Nama tersendiri yang ia sematkan pada wanita itu, untuk  pertama kalinya.

“Adi…Adiiii…apa yang telah kau kerjakan itu? Disuruh rapikan bunga eh malah hanya berdiri melongo.”

Suara itu membuyarkan lamunannya. Ia membalikkan badan. Nampak Mamanya tengah berdiri di depan pintu, dengan ekspresi yang sedikit tak berkompromi, juga kedua tangan tertancap di pinggang, laksana seorang mandor yang sedang melepaskan omelan-omelan untuk anak buahnya.

“Aaa…iya Ma’, iya, ma’af. Adi tadi hanya sekedar melihat-lihat ke jalan kok. Adi hanya istirahat sebentar. Kan capek dari tadi mangkas bunga.”

“Ya udah, lanjutkan sana.” Mamanya berkata sambil berlalu menghilang dibalik pintu.

Sepeninggal Mamanya, Adi berbalik, bermaksud melihat kembali si wanita tadi.

Lho, kok nggak ada…udah pulang mungkin ya???” Adi melongo.

Adi buru-buru menyelesaikan tugasnya merapikan bunga, tak sabar ingin ke warung Pak Mimin dan berharap bisa menggali informasi pada Pak Mimin mengenai sosok wanita berpakaian biru tadi.

15 menit kemudian…


“Eh anak baru…Tumben mampir kesini. Adi ya namanya?” Pak Mimin menyapa Adi yang tiba-tiba mendekatinya.

“Oh Iya, aku Adi, anaknya Bu Minah.”

“Iya, Ibumu sering kesini membeli nasi kuning atau kue lainnya. Ia juga pernah bercerita tentang kamu. Katanya kamu anak rajin.” Pak Mimin bercerita, sambil terus melayani pembelinya.

“Ah, biasa aja kali Pak…”

“Pak, ngomong-ngomong, bapak kenal wanita yang berpakaian biru yang mengantri disini tadi?” Adi melanjutkan omongannya. Memasang ekspresi keingintahuan.

“Wanita yang mana Di’? Tadi kan banyak wanita juga ibu-ibu yang juga ikut ngantri. Wong bapak juga nggak perhatikan secara seksama satu per satu.”

Hari itu nihil. Adi tak mendapat keterangan apapun tentang si Blue Moon tersebut. Pak Mimin tak punya satupun informasi tentang pelanggan wanitanya yang bergaun biru cerah itu. Ia tak memperhatikannya di warungnya tadi, apalagi mengetahui seluk beluk wanita tersebut. Toh Pak Mimin baru beberapa tahun tinggal dan membangun warungnya di daerah situ yang mana pelanggannya menjamur begitu cepat. Ia tak begitu mengenali semua pelanggannya yang seabrek itu. Apalagi Adi, yang baru seminggu tinggal di rumah yang baru dibeli bapaknya di kompleks itu. They both have no clue at all.

Adi semakin penasaran dengan wanita anggun bergaun biru dan berjilbab itu.

Keesokan harinya, Adi kembali berdiri di dekat pagar di halaman depan, menunggu wanita misterius itu, pada jam yang sama pula. Sesekali ia memandang kesana dan kemari, menyusuri sudut demi sudut jalanan depan rumahnya hingga berakhir pada warung Pak Mimin. Pandangannya dominan menuju kearah sana, meyakinkan bahwa wanita yang membuat ia penasaran tersebut tak luput dari pandangannya.

Tak berselang berapa lama, wanita itu muncul, dengan warna pakaian yang masih sama: biru cerah. Sepertinya wanita itu memang menyukai warna biru. Ia kembali mengantri.

“Oh Tuhan…that woman finally comes.” Adi berbisik dalam hati, sambil tatapannya difokuskan pada satu titik, pada wanita itu. Target is locked.

Wanita itu pergi. Adi mengikutinya dari belakang.

“Neng…Nengg….” Adi memanggil.

Wanita itu tak mendengar. Ia masih terus berjalan.

“Neng….Hallooo???” Adi bersikeras memanggilnya.

Tiba-tiba wanita berbalut gaun biru itu berhenti dan membalik badannya.

“Anda memanggil saya?.......kak?” ujar wanita itu.

Ia tersenyum dan menatap Adi yang tiba-tiba langsung terhenti seketika…..dan….

Adi merasa dunia seakan lenyap, berganti dengan balutan ruang yang penuh dengan warna-warni yang berputar-putar. Seakan ada sesuatu yang menghujam keras ke hatinya, tapi ia tak merasakan sakit, yang ada hanyalah perasaan yang indah, meresap ke seluruh pori-pori jiwanya. Senyum wanita itu, senyum yang ia tak pernah saksikan sebelumnya dalam kehidupannya. Senyum yang keluar dari wanita yang kecantikannya luar biasa. Senyum yang benar-benar membuat ia mabuk kepayang.

“Neng, bolekah saya bertanya, Neng?”

“Iya, tak apa…” Wanita itu menjawab halus.

“Neng namanya siapa, tinggal dimana pula?”

“Hmm…jika ingin berkenalan, temuilah saya nanti pukul 15.00 di taman Masjid Mubarak…Tahu kan Masjid Mubarak, masjid kompleks ini?”

“Iya Neng.” jawab Adi.

Wanita itu berlalu sembari meninggalkan senyum yang teduh menemani Adi yang sedari tadi tak bergerak, seperti orang yang kena totok.

Adi tahu betul masjid itu. Satu-satunya mesjid di kompleksnya. Masjid yang mempunyai taman di belakangnya. Di tengah taman masjid itu terdapat kolam ikan serta beberapa tempat duduk disekitarnya yang digunakan orang untuk beristirahat sambil menikmati riakan air kolam juga seluruh isi taman.
                                                              ***

Dari jauh nampak wanita bergaun biru cerah itu tengah duduk di samping kolam, sesekali melepar batu ke dalam kolam, menikmati riakannya. Disampingnya terdapat beberapa buah buku, juga tasnya yang berwarna biru. Adi mendekat.

Kedatangan Adi hampir mengagetkannya.

“Assalamualaikum, Neng…”

“Waalaikum salam…Silahkan duduk, kak…” wanita itu menjawab. Ia mencoba sedikit akrab dengan menggunakan panggilan ‘kak’, kepada Adi. Tak lupa pula dibarengi dengan senyuman mautnya.

“hmm…aku mungkin terlambat sedikit…” Adi membuka pembicaraan.

“Oh tidak, kamu tak terlambat. aku yang terlalu cepat kesini. Aku memang selalu seperti ini. Selalu cepat.” Ujarnya sedikit menyalahkan diri.

“Oh ya, namaku Andi Muslimah.” Wanita itu melanjutkan.

“Aku, Adi Firmansyah. Panggil saja Adi.” Adi memperkenalkan dirinya.

Adi menjabat tangan Muslimah. Tangan wanita itu begitu dingin.

“Adi….Nama yang bagus.” Muslimah menatap Adi. Ia melanjutkan lagi…memandang kea rah kolam.

“Aku biasanya disini, di tempat ini, jika tak ada yang aku kerjakan di rumah, jika perasaanku lagi tak begitu bersahabat. Aku melepas semuanya disini, di taman dan Mesjid ini.…Hmm, ngomong-ngomong, Ayuk kita shalat dulu, sudah waktunya Ashar. Tuh sudah bunyi adzan. Sebentar kita lanjutkan…”

Adi mengikuti shalat berjama’ah di Mesjid Mubarak, begitupun Muslimah. Setelah sholat, mereka melanjutkan kembali obrolan mereka. Muslimah banyak bertanya tentang Adi, tentang kepindahannya yang baru seminggu di kompleks itu. Adi tak begitu banyak mengorek tentang kehidupan Muslimah. Wanita itu benar-benar dingin di pandangan Adi. Adi selalu saja terdiam jika ingin bertanya sesuatu padanya. Adi seperti membeku.

Hari itu, hari yang benar-benar indah bagi Adi. Bertemu sekaligus berbicara dengan wanita seperti Muslimah merupakan rezeki yang tak ternilai harganya. Pesan Muslimah sebelum mereka kembali ke rumah masing-masing: Jika kau masih ingin mengobrol, temui aku di tempat ini besok. Pukul 12.00.


Adi menemui Muslimah keesokan harinya. Pada jam yang sesuai dengan pesan Muslimah. Nampak Muslimah sudah lebih dahulu datang di taman itu. Seperti dirinya adanya, selalu cepat dan lebih awal. Juga tak ketinggalan warna pakaiannya yang selalu sama: biru cerah. Pun seperti biasanya, hanya lima menitan mereka mengobrol, suara adzan memanggil. Mereka shalat berjamaah. Setelahnya, mereka kembali melanjutkan obrolan-obrolan mereka. Mungkin Muslimah sengaja mengatur waktu seperti demikian_bertemu dan mengobrol sesaat sebelum waktu sholat. Atau memang sudah kebiasaan Muslimah seperti itu. Adi pun kelihatan tak menyadari hal itu. Ia hanya mengikuti perintah Muslimah. Ia seperti tersihir dan mengangguk begitu saja di hadapan wanita berparas bidadari itu.
                                                               ***

Hari-hari berjalan seperti biasa. Begitu pula Adi dan Muslimah yang sering bertemu dan mengobrol pada waktu yang seperti biasa pula. Tak terasa, usia pertemuan dan obrolan-obrolan mereka sudah hampir satu bulan. Tanggal 5 tiga hari yang akan datang genaplah sudah satu bulan perjalanan obrolan mereka. Terbesit dalam pikiran Adi untuk memberikan sesuatu pada Muslimah. Sebuah hadiah, sebuah kejutan.

Beberapa hari sebelumnya Adi sempat menyatakan sesuatu pada Muslimah. Tentang perasaannya. Ya, memang sejak pertama kali melihat Muslimah, Adi sudah menyimpan perasaan cinta, hingga mereka berkenalan, dan melakukan ‘ritual-ritual’ pertemuan dan obrolan itu, rasa dalam hati Adi semakin meluap dan tak terbendung. Adi juga telah menyampaikan keinginannya melamar Muslimah, si Blue Moon-nya itu. Muslimah hanya menjawab:
“Jika kau telah mampu juga siap lahir bathin, maka temuilah aku disini, di taman mesjid ini, beberapa menit sebelum waktu shalat. Aku akan selalu disini menunggumu.”

Hari yang ditunggu-tunggu Adi pun tiba. Tanggal 5. Ia telah bersiap di rumahnya, juga dengan hadiahnya tersebut. Pukul 15.00 ia akan segera ke taman, menjumpai Muslimah.
                                                                ***

Adi tiba di taman mesjid tepat pada pukul 15.00, tak lebih, tak pula kurang semenit pun seperti yang ditunjukkan oleh arloji di tangan kirinya. Akan tetapi, wanita berpakaian biru cerah itu tak disana. Muslimah tak berada di tempat duduknya di dekat kolam. Adi sedikit lesu, tapi ia tetap bersemangat. Ditunggunya Muslimah dengan sabar. Sudah beberapa menit berlalu tapi gaun berwarna biru itu belum tampak di pelupuk matanya. Adzan pun memanggil. Ia lalu ke mesjid. Sholat berjama’ah.

Setelah sholat Ashar, Adi kembali ke taman mesjid. Tapi, Muslimah tak kunjung muncul juga. Ribuan tanya menyusup pikiran Adi, mengusik hatinya.

“Muslimah, mengapa kau tak hadir hari ini, aku punya sesuatu untukmu….Muslimah cinta kamu.” Gumam adi dalam hati.

Hari semakin sore, matahari mulai menjauhi arah timur, mulai hilang di pelupuk mata. Adi memutuskan untuk pulang.

Sepanjang malam Adi tak bisa tidur. Yang ada dalam pikirannya hanyalah Muslimah. Muslimah hari itu telah menghantui pikirannya, mengguncang hati dan jiwanya. Tiba-tiba ia ingat akan sesuatu. Secarik kertas yang pernah diberikan Muslimah pada saat mereka bertemu kesekian kalinya. Kertas itu berisi alamat rumah Muslimah.

Adi membuka laci meja. Mencari kertas itu. Akhirnya ia menemukannya. Kertas itu terselip di buku diarinya. Ia membukanya, membacanya: “Lorong Anggrek Biru No.5.”
                                                                ***

Siang itu Adi keluar rumah, menyusuri jalan, berbelok ke sebuah lorong, masuk lagi ke sebuah lorong berikutnya.

“Aku yakin di lorong inilah alamatnya…” gumam Adi.

Adi menyusuri lorong tersebut, yang didepannya terdapat sebuah papan bertuliskan nama lorong itu. Tak terlalu jelas tulisan tersebut karena mungkin telah termakan zaman. Tapi sekilas masih dapat terbaca: Lorong Anggrek Biru.

Lorong itu terlihat sepi. Perumahan penduduk terlihat hanya satu-satu. Masih terhitung dengan jari. Adi terus berjalan. Tiba-tiba ia terhenti pada suatu pekarangan yang agak luas, berpagar tembok. Disamping tembok itu pandangan Adi dibuat tak bergeming oleh sebuah tulisan: Anggrek Biru No.5.  Ia melihat kembali pekarangan luas itu, dilemparkanlah pandangannya dari sudut ke sudut. Ribuan batu nisan nampak disana, di pekarangan itu. Ribuan kuburan berbaris rapi disana. Adi mematung, tak bergerak, matanya sedikit terbuka lebar, mulutnya seperti terkunci rapat, tak bisa berkata-kata. Ia merinding.

“Apakah benar inilah alamat rumahmu, Muslimah?” bisik Adi dalam hati.

Diantara ribuan kuburan tersebut, ada satu kuburan yang berbeda, terlihat agak besar, dibaluti tegel berwarna biru cerah. Pandangan Adi tertuju kesana. Ia mendekati kuburan tersebut. Dilihatnya secara dekat. Pada batu nisan tertulis “Andi Muslimah, Wafat 1997”.

Adi tak kuasa membendung air matanya. Ia menangis tersedu sedan disamping kuburan bertegel biru cerah itu. Pandangannya memburam, hidupnya terasa hampa. Ia mengeluarkan sebuah kotak dari tasnya. Dibukanya kotak itu, nampak cincin bermata saphir terselip rapi di dasar kotak, berkilau-kilau diterpa sinar matahari. Ia menaruh cincin itu di depan nisan. Adi beranjak pergi tanpa sepatah katapun. Ia tak kuat.

Semenjak kejadian tersebut Adi sering ke Masjid Mubarak, sholat berjama’ah, lalu menyempatkan diri mengunjungi taman di belakang Masjid tersebut, menikmati riakan air kolam, merindu Muslimah si Blue Moon. Dan dari keterangan yang ia peroleh dari Imam Mesjid Mubarak, Andi Muslimah adalah anak seorang  tokoh agama Islam di kompleks tersebut. Ia adalah keturunan Bugis, Arab dan Yordania. Andi Muslimah meninggal dunia karena sakit keras yang dideritanya, sebulan sebelum ia menunaikan niatnya berhaji di Baitullah. Keluarganya kini telah pindah ke Yordania. Mesjid Mubarak merupakan mesjid yang didirikan oleh Ayahnya, sementara taman di belakang mesjid tersebut dibangun atas permintaan Andi Muslimah.
                                                             ***

0 komentar

Silahkan Beri Komentar Saudara...

Sepenggal Kata

Menulislah, maka anda akan meraba dunia, dan membacalah maka anda akan melihat dunia...

READ

......
Template Oleh trikmudahseo