Selamat membaca
2011
semoga bermanfaat

WIDGET

Label

Total Tayangan Halaman

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Followerku

BlogRoll

Blogger news

Bahagia itu nikmat, senikmat kopi dengan moka putih.

I can say It the "Whole Love"


Sesuatu yang hadir dan melekat pada pribadi setiap insan di dunia ini. Sesuatu yang pada dasarnya sangat susah untuk dijelaskan...



Cinta. Ya.



Karena begitu susah untuk dimengerti (bagi saya), saya ingin mengemukakan suatu hal tentang cinta, dan saya minta pendapat dan komentar anda tentang itu. (Komen ya...). OK Let's see,





Cinta pada dasarnya berangkat dari perasaan suka/tertarik pada suatu hal. Disimpulkan :

Jika anda jatuh cinta pada seseorang karena anda menyukai wajahnya (dia cantik), berarti sesungguhnya anda hanya mencintai wajahnya saja

Jika anda jatuh cinta pada seseorang karena anda tertarik pada kekayaannya, berarti anda hanya mencintai kekayaannya
Jika anda jatuh cinta pada seseorang karena anda tertarik pada kepribadian/sifatnya (dia orang baik,dsb), berarti anda hanya mencintai kepribadiannya
Jika anda jatuh cinta pada seseorang karena anda tertarik akan kepintarannya, berarti anda sesungguhnya hanya mencintai kepintarannya
and so on....

Mengapa demikian?

Apakah ada orang yang mencintai kencantikan seseorang lantas ia pun mencintai segala hal-hal yang berkaitan dengan pasangannya atau ia bisa mencintai seluruh kehidupan pasangannya? I don't know....



Lebih lanjut saya akan berikan illustrasinya:

- Ada seorang cewek jatuh cinta pad seorang cwok karena cwok tsb punya kendaraan (mobil mewah atau motor), dan cwok ini tampangnya....biasa aja lahh (G' mgkn dibilang jelek),,,standarrrr. Lantas apakah cewek ini mencintai ia sepenuh hati, mencintai segala kehidupan si cwok? Tlg jwb sendiri.



So,,,,,manakah definisi cinta, yang sebenarnya cinta. Apakah anda sudah menemukannya? Jika belum, Stop saying "I'm falling in love with...",,karena anda belum mengerti cinta yang sebenarnya.



JANGAN MEMPERMAINKAN CINTA.

Dimanakah Kejujuran Itu?

Ketika kebenaran dibalut oleh kebohongan yang indah…

Ketika kenyataan ditutupi dengan trik-trik yang sempurna…

Ketika kepedihan sengaja dilumuri dengan kesenangan…

Kejujuran tak berharga lagi…

Dimanakah kejujuran itu?

Makassar, September 2011

Membuat Lirik Lagu ? ? ?


Membuat lirik lagu memang gampang-gampang susah. Bagi saya, membuat lirik itu mudah namun ada juga sebagian orang yang menganggapnya susah. Sehingganya saya menarik kesimpulan bahwa membuat lirik itu gampang-gampang susah. Bagi orang yang mengatakan gampang, menulis lagu itu hanya seperti menulis puisi, bahkan lebih gampang dari itu. Hal ini dikarenakan model lirik sebuah lagu itu bisa bermacam-macam, ada yang membuatnya seperti dengan membuat puisi, yang penuh dengan makna implicit, ada pula yang membuatnya seperti sebuah cerita atau menceritakan kisah, inilah yang saya katakan lebih gampang.

Semua orang pasti bisa membuat puisi, secara otomatis ia pun pasti bisa membuat lirik lagu. Sebagian orang mengatakan susah karena kekurangan “kepandaian bermain kata-kata”, begitu saya menamakannya. Ada juga yang mengatakan sering kali mereka tidak punya ide sama sekali dalam menulis.

Sebenarnya, kesusahan terbesar bagi kita adalah ketika kita membuat nada sebuah lagu, dan mencocokkannya dengan lirik yang telah kita buat. Sebuah lagu akan enak didengar jika nada dan musiknya bagus dan indah. Lirik dan isi pesannya adalah hal kedua dalam penilaian orang-orang. Namun, lirik juga kadang-kadang bisa menjadi hal yang utama karena sebuah lirik dapat mewakili perasaan orang yang mendengarnya. Jika suatu lirik bisa menyentuh kehidupan seseorang, maka orang tersebut akan menyukainya ataupun akan membencinya jika lirik tersebut berkaitan dengan hal yang dibencinya. Misalnya, jika seseorang sedang jatuh cinta dan mendengar sebuah lagu yang isi pesannya bercerita tentang cinta, maka hatinya akan lebih berbunga-bunga dan perasaanya senang. Begitu pula sebaliknya, jika seseorang sedang putus cinta atau sedang bersedih dan ia mendengarkan lagu yang sedih juga, maka ia akan membenci lagu tersebut atau tidak menyukainya.

Setiap lagu pasti berisi tema-tema tertentu. Ada tema perjuangan (biasanya terdapat pada lagu-lagu kebangsaan), tema percintaan, dan lain-lain. Tema inilah nantinya yang akan merepresentasikan isi pesan dari lagu tersebut. Ada juga lagu yang sulit ditebak temanya. Dan pastinya, isi pesan dari lagu tersebut tidak dapat dimaknai. Contoh lagu yang seperti itu adalah lagu dengan syair atau lirik yang tidak menentu, kadang bercerita tentang ini, kemudian bercerita lagi tentang itu. Ada pula lagu dengan syair teracak. Kebanyakan lagu-lagu demikian muncul pada band-band instant, dengan vokalis yang instan pula. Di Negara kita, Indonesia, masih banyak terdapat kasus seperti itu. Oleh karena itu, para pembuat lagu sebaiknya konsisten pada satu pesan yang ingin disampaikannya. Satu pesan yang baik, akan indah bagi pendengar dan penikmat lagu atau music.

Dalam membuat lagu, seharusnya kita melihat terlebih dahulu kondisi perkembangan zaman yang ada. Kita sekarang ini tengah berada pada zaman modern, yah tentu lagunya harus tidak ketinggalan zaman donk begitu juga pada musiknya. Hal kedua yang perlu diperhatikan adalah keadaan pasar music pada tempat dimana kita berada. Kita bisa mengambil contoh pada pasar music Indonesia. Dalam konteks ini, kita harus melihat genre lagu apa yang sedang naik daun saat ini. Dari hasil pengamatan kita tersebut, maka kitapun akan membuat lagu dengan genre yang demikian namun dengan kolaborasi music dan lirik yang berbeda. Hal yang terakhir yang perlu kita perhatikan dalam membuat lagu adalah kondisi atau situasi yang sedang terjadi dalam kehidupan saat itu. Yang dimaksudkan disini adalah misalnya ketika kondisi suatu Negara ataupun daerah pada saat itu tengah terjadi korupsi besar-besaran, maka jika kita membuat suatu lagu yang isi pesannya adalah tentang korupsi, maka yakin dan percaya lagu kita tersebut akan naik daun.

Itulah beberapa saran penting dalam pembuatan lagu, semoga degan menjalankan tiga hal tersebut, lagu kita akan selalu dinikmati oleh masyarakat, dan pastinya akan indah didengar.

Sudah Adakah Judul Skripsimu?


“Memilih judul”, kata pak Jemma, Dosen Penelitian kami.

“Kalian sekarang sudah semester 5, sudah bisa menyetor judul jika sudah punya. Jangan sampai terlambat.” Lanjutnya lagi.

Salah satu contoh judul skripsi yang selalu teringat di benak saya adalah “Pengaruh Metode Cabut Gigi dalam Penguasaan Kosakata Siswa”. Contoh ini yang selalu membuat tawa di kelas kami. Menurutnya, metode cabut gigi adalah cara dimana dalam proses pembelajaran, siswa akan diberikan hukuman (dicabut giginya) jika tidak mampu menghafal/menguasai kosakata yang telah ditentukan. Wah, berbahaya bukan? Hahaha. Dengan demikian siswa akan memaksakan dirinya untuk menghafal. Bagaimana hasilnya? Belum diketahui… Ini hanya merupakan contoh saja. Mungkin jika ingin dilakukan maka harus dipertimbangkan sematang-matangnya, karena jika siswa melanggar metode ini, maka keesokan harinya sekolah akan dipenuhi oleh para orang tua siswa dengan golok terhunus di tangan. Begitu asumsinya. Ataukah kebanyakan siswa di sekolah itu menjadi ompong di masa muda. Lucu bukan? Tapi mengerikan.

Memilih Judul. Lho kok memilih judul? Bukannya mencari judul. Menurut pak Jemma bahwa dalam penelitian kita akan meneliti sebuah masalah, itulah yang menjadi cikal bakal judul kita. Masalah dalam kehidupan ini begitu banyak, sehingga dikatakan bahwa kita akan memilihnya. Namun yang dimaksudkan disini adalah masalah yang berkaitan dengan studi kita. Misalnya kita masuk dalam ranah bahasa inggris, maka masalah kita haruslah berkaitan dengan bahasa inggris. Dalam penelitian nantinya akan disuguhkan beberapa metode, ada metode deskriptif, historis, korelasi, komparatif, dan eksperimen. Kitalah yang akan memilih satu diantaranya.

Sekarang kita telah berada di semester 5, beberapa bulan lagi kita akan menjalani final test, setelah itu tentunya kita akan memasuki semester 6, kemudian semester 7. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Lantas apakah yang perlu kita lakukan? Pertanyaan apakah yang sepantasnya terlontar untuk diri kita masing-masing? Mungkin ini dia, “Apakah kita sudah mempersiapkan segala sesuatunya bagi penyelesaian studi kita nanti? Apakah kita sudah siap untuk terjun langsung ke masyarakat dan melakukan apa yang seharusnya kita lakukan?” Satu pertanyaan yang penting untuk kita sekarang adalah “Apakah kita telah mempersiapkan judul skripsi kita?”. Pertanyaan inilah yang selalu muncul pada teman-temanku, dan tentunya padaku juga. Apalagi ketika kami disuguhkan mata kuliah penelitian. Semua pikiran mengambang, menghayalkan judul skripsi yang akan dimasukkannya nanti. “Jika kaliah sudah punya judul sekarang, silahkan ajukan ke ibu Inah.” Begitu kata pak Jemma.

So, kapan kita memilih judul? Ya dari sekarang lah… Hehehe. Katanya judul itu bisa diperoleh kapan saja dan dimana saja. Bisa di WC ketika kita buang air (wah, jorok amat), ketika sedang makan, ataupun ketika kita sedang melakukan aktifitas-aktifitas lainnya. Untuk mempermudah dalam menemukan judul maka kita seharusnya memperbanyak membaca, mengikuti seminar-seminar, diskusi atau workshop, dan lain-lain. Dalam penelitian, itulah yang dinamakan sumber-sumber masalah. Oleh karena itu, mulai dari sekarang tancapkanlah dalam benak kita bahwa kita akan memilih dan mempersiapkan judul kita. Tidak apalah kita mempersiapkan begitu banyak judul karena mungkin judul kita yang pertama belum diterima, maka kita bisa mencoba judul kita yang lainnya. Kita juga dapat membantu teman kita yang belum mempunyai judul. So, let’s do it. Salah satu kata motivasi dalam buku “Retorika Kaum Bijak” berbunyi, “Don’t just stand there, but do something.”

Contoh Biografi dalam Bahasa Inggris


Abdi Masbara Lumbon. He was born on August, 17th 1992 in Okumel, Banggai, Central Sulawesi. He is the last son from Abdul Rahim Lumbon and Sabarni Yaliso. He started his study when he was five years old in 1st Okumel Elementary School (SDN 1 Okumel) in his village. He was graduated in 2003 and he continued his study in 3rd Liang Junior High School (SMPN 3 Liang).

In 2006 he continued his study in 2nd Luwuk Senior High School (SMAN 2 Luwuk) in the city of Luwuk Banggai. At that time, he was always active in an Internal Organisation in his school, called OSIS. He finished his study in 2009 and he continued again for his first degree (S1) in State Islamic University of Makassar, in South Sulawesi. He took English Education Department on Tarbiyah and Teaching Faculty. Now, he is in fifth semester.

He has been joining some organizations since he was in first semester. He ever got First Winner on “Elementary School Writing Competition” in 1999. He also got 1st Winner with his friends for “Vocal Group Competition”in PORSENI Banggai in 2008. In 2009 he got Third Winner on “Singing Competition” in the ceremony of his campus’s anniversary. At that time, he was also a member of “Paduan Suara Universitas” which is performed in a Graduation Ceremony.

Example of Descriptive Paragraph

My campus is beautiful. It has many new buildings. Every room of the building has new equipment for studying. there are some green trees between the buildings. In the middle of our campus there is "Air Mancur". Many people want to take rest and relax there. These all make the scenery become interesting and comfortable to be seen.

SAKIT?


Kehidupan ini memang sering kali menyakitkan. Sakit yang dominan kita dapatkan adalah sakit yang berhubungan dengan hati atau batin kita, selebihnya itu adalah sakit pada fisik atau jasmani kita.

Sakit pada hati akan sulit didapatkan penawarnya ketimbang sakit pada fisik. Sakit pada hati ataupun batin,akan terasa lebih sakit, sehingganya muncul lirik sebuah lagu, “kalau terbakar api, kalau tertusuk duri mungkin masih dapat ku tahan tapi ini sakit lebih sakit, kecewa karena cinta”. Begitu? Ada-ada saja tingkah laku manusia.

Tapi memang, persoalan cinta merupakan sumber sakit hati pertama. Banyak orang yang menderita karena putus cinta, ada yang sampai gila, bahwa ada yang nekat bunuh diri ataupun membunuh orang lain. So crazy… Namun itulah yang dinamakan sakit, sakit hati.

Itu karena putus cinta, bagaimanakah dengan cinta yang ditolak? Bagaimanakah sakitnya? Aku tidak tahu. Masing-masing orang mempunyai daya rasa yang berbeda-beda. Ada yang merasakan sakit sekali, adapula yang menganggapnya bahwa itu adalah hal biasa dan mengatakan pada dirinya “Oh, tidak apa lah, ini bukan keberuntunganku, masih banyak cewek/cowok lain disana yang menungguku, yang masih single”…hahaha. Sekalipun berkata seperti demikian, terlihat sabar dan tabah, namun dapat ditebak bahwa orang ini setidaknya merasakan sakit juga namun hanyak sedikit.

Ada pula orang yang menjadi marah karena putus cinta, hingga mereka menggunakan other way atau jalan pintas. Seperti kata-kata yang selalu kita dengar, “Cinta ditolak, mbah dukun bertindak”. Sungguh tidak jantan yang demikian. Tapi begitulah, kebiasaan yang telah membudaya di bumi kita, bahkan di bumi orang lain juga, seperti di Thailand, dan daerah-daerah Asia lainnya. Santet-santetan masih tetap survive di dunia ini, selagi sakit hati masih tetap ada, selagi agama tidak lagi terserap dengan baik dalam hati sanubari manusia.

Berkaitan dengan sakit hati karena cinta, ada satu hal yang sangat tidak aku suka yaitu tentang kejujuran. Apakah yang anda rasakan jika ada seorang cewek menolak atau tidak menyukai anda namun ia tidak mengungkapkannya, hanyalah beribu alasan yang keluar dari mulutnya (bukan alasan untuk menolak, tapi sejenis alasan-alasan yang tidak masuk akal). Sungguh sebuah ketidakjujuran. Bagaimanakah jika anda tidak dapat menebak bahwa dia tidak menyukai anda? Cobalah anda pikirkan.

Begitu banyak sumber-sumber penyebab sakit hati : kecewa, putus cinta, dikhianati, cinta ditolak, iri pada orang lain, dan lain-lain. Semuanya begitu sakit. Kata “sakit” memang tidak pernah berubah maknanya, sakit tetap sakit. Kehidupan memang seringkali menyakitkan bagi siapa saja. Hanya kitalah masing-masing akan yang mencari dan menentukan penawar ataupun jalan keluarnya.

Okumel ; Kini dan Mendatang


Okumel adalah sebuah desa yang bisa dikatakan cukup makmur, yang terletak di Liang bagian selatan. Desa ini juga merupakan desa yang berkembang beberapa tahun terakhir ini. Tanda-tanda perkembangan desa ini sebenarnya sudah dapat diprediksi sejak berdirinya Pasar Okumel. Pasar merupakan hal yang vital bagi masyarakat dalam suatu daerah dalam rangka menumbuh-kembangkan perekonomiannya. Di dalam pasar terdapat proses jual beli antar masyarakat baik masyarakat yang tinggal di daerah tersebut maupun masyarakat dari daerah lain yang datang berbelanja atau berdagang. Dengan adanya Pasar Okumel, transaksi-transaksi ataupun pertukaran hal-hal baru mulai tumbuh. Inilah yang menjadi tonggak awal perkembangan Desa Okumel, desa yang menjadi tempat lahir saya, yang saya cintai.
Mengapa bernama Okumel? Saya juga tidak tahu mengapa demikian. Bukannya saya buta akan sejarah desa sendiri, namun kejelasan dari cerita masyarak tentang sejarah Okumel belum saya dapat secara pasti. Tidak ada data-data yang dapat dijadikan referensi terbaik untuk digunakan. Cerita-cerita yang didapat dari orang-orang tua merupakan hal yang begitu penting namun ada berbagai versi yang berbeda-beda dalam cerita sejarah Okumel. Inilah yang memberatkan hati saya untuk menulis atau sekedar mengungkapkan sejarah Okumel itu sendiri. Jika saya mengatakan ceritanya seperti begini, dan ternyata yang sebetulnya adalah begitu, maka saya dapat dikatakan sebagai orang yang Ba soosoki, ini merupakan istilah orang-orang daerah sini, yang menyatakan bahwa saya bertindak sembarangan dalam melakukan sesuatu. Tapi setidaknya sedikit saya beberkan cerita tentang Okumel yang saya dapatkan orang-orang. Ceritanya kurang lebih seperti berikut. Dikisahkan bahwa pada jaman dahulu ada sebuah pohon yang tumbuh di dusun Dambelas. Pohon ini bisa dikatakan cukup unik (kesimpulan dari pemahaman saya). Daun dari pohon tersebut berasa dingin atau Kumel, dalam bahasa Banggai. Di bawah pohon ini mengalir sungai dari mata air dan terus ke laut. Sifat dingin (kumel) dari pohon inilah yang menjadi cikal bakal penamaan daerah yang dulunya masih berupa hutan lebat ini, Okumel. Lho kenapa masih ada satu huruf yang tertinggal? Ya, masih ada huruf “O”, O-kumel. Dari cerita yang saya dengar, huruf “O” belum begitu pasti dari mana asal mulanya. Bisa dikatakan bahwa ini mungkin merupakan istilah-istilah orang pada jaman dahulu. Toh Bahasa mempunyai banyak macam istilah-istilah tambahan ataupun logat. Ada pula sumber lain yang mengatakan bahwa huruf “O” tersebut berasal dari pengucapan orang Belanda (Dikatakan bahwa orang Belanda ketika berdialog dengan kaum pribumi, selalu terbata-bata dan selalu mendahului sebuah kata dengan huruf “O”). Huruf “O” pada pengucapan orang Belanda ditambah kata kumel menjadi “O-kumel”. Cerita ini belum begitu pasti, mengingat orang-orang tua kita ketika bercerita, mereka sering menggabungkan cerita asli dengan dongeng, sehingga sulit dipastikan kebenaran cerita itu.
Okumel merupakan desa yang berbatu-batu. Jika anda menengok ke arah kiri, maka anda akan melihat bukit yang berbatu-batu. Tengok ke kanan maka anda akan tanah berbatu-batu, begitu pula jika anda melihat ke depan dan belakang. Memang benar potongan liriks suatu lagu yang mengatakan “Okumel lipu batuon, Okumel na monondokan”, artinya Okumel merupakan daerah yang berbatu namun bagus. Tapi perlu diketahui, Okumel tidak sebegitu berbatu seperti yang saya ilustrasikan di atas, tengok ke kiri, kanan, depan dan belakang berbatu. Sungguh tidak demikian. Saya mengatakan seperti diatas karena rasa iba saya terhadap Okumel, rasa perduli,dimana Okumel sangat susah dalam pembangunan wilayah. Alasannya ya karena Okumel dipenuhi bukit-bukit berbatu. Jika pembangunan wilayah dilaksanakan, maka perlu alat-alat berat yang sudah mumpuni dan para arsitek-arsitek yang mampu menyulap daerah yang sedemikian rupa menjadi daerah yang indah, setidaknya menjadi daerah yang rata. Suatu waktu ketika saya sedang menghayal tentang negeri saya ini, kadang-kadang saya menginginkan adanya penimbunan daerah lautan di depan pasar Okumel (teluk Okumel) menjadi daratan sehingga dapat digunakan sebagai lahan dalam perluasan pasar Okumel. Pelabuhan okumel akan dibangun di depan Tanjung Okumel, sedikit ke depan dusun Bajo, karena disana mungkin ada perairan yang sedikit dalam sehingga cocok untuk kapal-kapal besar berlabuh. Ini semua untuk perkembangan desa Okumel. Namun ini hanya khayalan saya saja, masih dalam mimpi. Kadang-kadang saya berharap ini bisa terwujudkan. Oleh karena itu sangat dibutuhkan perwujudan, butuh tindakan.Sebuah kalimat bijak mengatakan “Don’t just stand there, do something”, maksudnya jangan cuma diam tapi lakukanlah sesuatu. Kita akan melihat hasilnya jika kita mengerjakannya, mewujudkannya, bukan cuma dengan kata-kata.
Perubahan yang begitu signifikan sudah menghiasi hati seluruh masyarakat Okumel beberapa tahun terakhir ini, pembangunan TK (Taman Kanak-kanak) Okumel pada 2010, hingga berdirinya SMA swasta di tahun ini. Menurut saya, ini merupakan suatu perubahan yang perlu dibanggakan. Sangat jarang daerah-daerah lain mampu melakukan ini, mampu membangun SMA
bersambung....

English Version_The Legend of Tanduk Alam

Among the local inhabitants of Central Sulawesi, Indonesia, Tanduk Alam is known as a prominent Islamic scholar who was originally from Palembang, South Sumatra, but most of his time was spent in the Land of Banggai, Central Sulawesi.
There was a time the king of Banggai asked for help from him to release the royal Princess who was kidnapped by the Tobelo troops in the island of Sagu. Would he successfully release the Princess from the Tobelo people? Here is the story…!
***
Long time ago in Palembang, South Sumatra, a place where is assumed of being the central administrative government of Srivijaya Empire, there was a prominent Islamic scholar named Hasan Tanduk Alam. He once sailed across the sea, leaving Palembang for the Land of Banggai in Central Sulawesi, in terms of establishing economic link and disseminating the Islamic teachings there. However, the voyage was stopped in the Land of Sea-Sea before arriving at Banggai.
In the early years of settling in Sea-Sea, Tanduk Alam earned his living from serving as a gold miner as well as a goldsmith. While grappling with gold mining and bullion matter, he spent most of the time to spread the Islamic teachings to the local inhabitants living in Sea-Sea. For that reason, he was famous as either a goldsmith or an Islamic ulema.
For such popularity, the name Tanduk Alam then was known by the royal family of Banggai Kingdom. Banggai Kingdom, at that time, was headed by a king named Adi Cokro. To run the monarch government, King Adi Cokro got assisted by four basalo (ministers).
One day, the royal family of Banggai Kingdom got panic following the missing of the royal Princess. At a moment’s notice, the king summoned all the royal troops to seek for the Princess. Unfortunately, all the efforts ended in failure. The only thing they knew that the Princess was kidnapped by the Tobelo troops settling in the island of Sagu. In addition, the Tobelo troops were the minions of King Ternate who was eager to occupy the Kingdom of Banggai.
Knowing the fact, King Adi Cokro convened the four basalo for a meeting.
“O… My basalo, sure you have known the current situation in our kingdom! Therefore I summoned you to gather in this room. I want you all to make an attack to Sagu Island to release my daughter. But you have to notice, do not hurt the commoners. Defeat the rebellions and take my daughter back!”
All the four basalo then moved to the island of Sagu. With some royal troops, the sailed across the sea leading to Sagu Island with hope to find the Princess and get her back. Unfortunately, their effort was a mere failure since the number of Tobelo royal troop was bigger than the Banggai’s. Luckily the four basalo were alive; hence they could get back to the kingdom to report the result.
“Pardon us, the Majesty! We have failed to bring the Princess back. The Tobelo royal troops were greater in quantities than ours, so we didn’t want to take the worse risk if we kept moving forward,” a basalo reported to the king.
The king woke up from the throne and walked back and forth. It appeared that the king was thinking the solution for such. Then all of sudden, a basalo interrupted, “How about discussing the problem with Tanduk Alam, the Majesty? I heard a lot about him. And most of our people know about his magical and talismanic power?”
“If so, get him to be here!” the king responded to the basalo.
“Alright, the Majesty!”
Te four basalo then went to the Land of Sea-Sea. In this occasion, they wished they could meet Tanduk Alam for delivering the king’s order. They met at Tanduk ALam’s house. Some small talks happened as the four basalo sent the king’s order. Tanduk Alam and the four basalo then moved to the palace, and met the king.
“The Majesty, I’ve been here to meet your order,” Tanduk Alam said.
“Oo…Tanduk Alam, sure you have known about the recent situation in our kingdom. My daughter was seized by the Tobelo troops upon order from the King Ternate,”
“Yes, I have known about it, the Majesty. Are you sure that the Tobelo troops grab her to the island of Sagu?”
“Yes, she is now with the Tobelo in the island of Sagu. Now, I beg your help to release my daughter,”
“With all of my heart, the Majesty, I will do the things I can do to serve the kingdom. But I have a request, the Majesty,”
“What is it, Tanduk Alam? Tell me!” the king asked.
“Do not send a number of royal troops to accompany me in releasing the Princess. I just want to avoid the fall of victims for this mission,” Tanduk Alam’s remarks.
“Alright if that so, but let me order the four basalo to accompany you,”
In the following day, Tanduk Alam and the four basalo sailed across the sea, moving forwards to the island of Sagu. While sailing, they discussed the strategy to release the Princess.
“Just hold yourself still while I am releasing the Princess. Do not make any crowd when we reach the island,” Tanduk Alam said to the four basalo.
“But how will we enter the island? Almost all the areas have been under guarded by a number of Tobelo troops, indeed,” a basalo asked.
“So let me go there alone, and you just stay here!” Tanduk Alam replied.
“That’s so much dangerous for you!”
“Nope! With the help of Allah, I am sure I would be able to release the Princess,”
In the mid of a night, they reached the island. Tanduk Alam then moved closer to the island. He tiptoed towards the island then sit with the legs crossed, praying to God. Suddenly, Tanduk Alam was gone miraculously. He was invisible at the time; thus could enter the Tobelo troops barrack in safe.
The four basalo just waited and saw from the ship, keeping an eye just in case there would be a sudden attack from the Tobelo troops. Tanduk Alam alone had been in front of the prison where the Princess was. All the Tobelo troops were sleeping as well as the Princess. Gently he opened the door of a room where the Princess was. He moved to the Princess, and the Princess was awakened, shocked.
“Who are you?!” the Princess asked at a moment’s notice.
“I’m here to save you, just keep silent or they will be awakened!” Tanduk Alam said.
“Is that true?”
“Yes, it is. King Adi Cokro is your father, isn’t he? He asked me to release you,”
“But, how do we escape away from this place?”
“Now, just follow my order. Sit down and close your eyes! We’re going to escape away in safe. I promise!” Tanduk Alam ordered the Princess and recited some prayers to make them invisible.
Suddenly, they had been in the ship. The four basalo were shocked to know Tanduk Alam had been in the ship, along with the Princess in safe.
“Come on! We have to sail back to the kingdom, now!” Tanduk Alam ordered the four basalo.
“Alright! Let’s move!”
When the sun was going to rise, Tanduk Alam, the Princess, and the four basalo had arrived at the kingdom’s harbour. They were welcomed by the local inhabitants who missed their Princess who was known as wise, smiling, and very open to the commoners.
They went to the palace and were welcomed by the king.
“Thank you so much for helping me, Tanduk Alam. Is there any thing you want from me, Tanduk Alam? The king thanked Tanduk Alam.
“If you don’t mind, let me have a land here. I would like to use it as the Sago and Durian plantations. I wish that would be beneficial not only for me, but also for all the people here,” Tanduk Alam delivered his wish.
“If that so, I would order the royal troops to open a new land for you, tomorrow,” the king said.
A land nearby the royal palace of Banggai Kingdom was bestowed upon Tanduk Alam by King Adi Cokro. That was the return from the king to him upon the help he had made to the kingdom.
The land was then functioned as a sago and durian plantations by Tanduk Alam. Several years later, he had his first harvest time. His economic welfare got improved, but he still endeavoured in spreading the Islamic teachings.
The local people followed Tanduk Alam. They deliberately opened some new lands to plant it with durian or sago. With guide from Tanduk Alam on how to plant durian and sago, the local people could also empower their economic welfare. While teaching the local inhabitants to manage durian or sago plantation, Tanduk Alam also taught them the Islamic teachings. Consequently, a number of the Banggai people turned to Islam; hence now Islam is the most widely embraced religion in Central Sulawesi, especially in Sea-Sea and Tano Bonunungan.
***
And here is the story about Tanduk Alam and his effort in disseminating the Islamic teachings in Banggai, Central Sulawesi. To commemorate his merit, the local people buried his deceased body precisely in the back of the royal palace of Banggai Kingdom.
The above story is categorized a legend with some moral messages that can be derived. One the messages delivered through the story is that kindness will be rewarded with the unpredictably greater kindness. This is seen from the figure of Tanduk Alam. As he was a figure who kept conducting good deeds to all people, he got no problem in releasing the Princess of Banggai Kingdom. As well, he served the entire his life for disseminating Islam; thus his life got ease too.

Seuntai Kata Cinta

Cinta sejati adalah ketika dia mencintai orang lain, dan kamu masih mampu tersenyum, sambil berkata: aku turut bahagia untukmu.

Jika kita mencintai seseorang, kita akan sentiasa mendoakannya walaupun dia tidak berada disisi kita.

Jangan sesekali mengucapkan selamat tinggal jika kamu masih mau mencoba. Jangan sesekali menyerah jika kamu masih merasa sanggup. Jangan sesekali mengatakan kamu tidak mencintainya lagi jika kamu masih tidak dapat melupakannya.

Perasaan cinta itu dimulai dari mata, sedangkan rasa suka dimulai dari telinga. Jadi jika kamu mahu berhenti menyukai seseorang, cukup dengan menutup telinga. Tapi apabila kamu Coba menutup matamu dari orang yang kamu cintai, cinta itu berubah menjadi titisan air mata dan terus tinggal dihatimu dalam jarak waktu yang cukup lama.

Cinta datang kepada orang yang masih mempunyai harapan walaupun mereka telah dikecewakan. Kepada mereka yang masih percaya, walaupun mereka telah dikhianati. Kepada mereka yang masih ingin mencintai, walaupun mereka telah disakiti sebelumnya dan kepada mereka yang mempunyai keberanian dan keyakinan untuk membangunkan kembali kepercayaan.

Jangan simpan kata-kata cinta pada orang yang tersayang sehingga dia meninggal dunia , lantaran akhirnya kamu terpaksa catatkan kata-kata cinta itu pada pusaranya . Sebaliknya ucapkan kata-kata cinta yang tersimpan dibenakmu itu sekarang selagi ada hayatnya.

Mungkin Tuhan menginginkan kita bertemu dan bercinta dengan orang yang salah sebelum bertemu dengan orang yang tepat, kita harus mengerti bagaimana berterima kasih atas karuniaan itu.

Cinta bukan mengajar kita lemah, tetapi membangkitkan kekuatan. Cinta bukan mengajar kita menghinakan diri, tetapi menghembuskan kegagahan. Cinta bukan melemahkan semangat, tetapi membangkitkan semangat -Hamka

Cinta dapat mengubah pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara menjadi telaga, derita menjadi nikmat, dan kemarahan menjadi rahmat.

Sungguh menyakitkan mencintai seseorang yang tidak mencintaimu, tetapi lebih menyakitkan adalah mencintai seseorang dan kamu tidak pernah memiliki keberanian untuk menyatakan cintamu kepadanya.

“Cerita Hari Sabtu” (Cerita Hari-hariku)


….Kringg,,,kringg,,,kring…
….Kringg,,,kringg,,,kringggggg…
Aku terbangun degan mata yang amat redup, pandangan yang agak buram…kupandangi alarm handphoneku yang berisik sejak tadi.
“Uughh..”  Keluhku.
Pukul 5.00 pagi. Pagi ini aku malas untuk bagun, segera kumatikan alarm itu dan langsung kembali surfing di alam mimpi. Aku tidak tahu apa sebabnya pagi ini aku malas bangun. Begadang? Oh bukan,,,banyak pikiran? Bukan juga… Bukan pula akibat dari kenakalan nyamuk-nyamuk yang semalam hampir menggotongku ke acara pesakitan.Atau mungkin ini kebiasaanku? Oh tidak mungkin. Aku termasuk orang yang selalu patuh pada panggilan alarm, meskipun kadang-kadang aku membangkang. Mungkin pagi ini aku membangkang.
Setelah perkelahian yang begitu sengit dan hampir menuntastaskan nyawaku, aku terbangun dan tersadar…sedikit peluh menggerogoti kulitku.
“Oh, ternyata hanya mimpi.”
Tanganku meraba-raba, hendak mencari sesuatu. Handphone…ya…handphoneku. Aku hanya ingin memastikan jam berapa sekarang. Pukul tujuh lebih dua puluh menit…
“Oh, aku belum sholat subuh..” imbuhku.
Rupanya hari ini aku masih ingat Tuhan. Hahaha. Keadaan masih begitu gelap sehingga aku menyangka bahwa matahari belum nongol di peraduannya. Ternyata aku mematikan lampu sejak tadi malam sebelum aku tidur. Itulah sebabnya ruang kamarku begitu gelap dan memang matahari tidak mampu menembus kamarku karena kamarku terletak di bagian dalam di rumah tempat kontrakanku.
Setelah merapikan tempat tidurku, aku bergegas mengambil air wudhu dan menjalankan perintah-Nya. Segelas air putih telah bercokol dalam perutku sejak tadi. Inilah kebiasaanku setiap bagun pagi ataupun bangun tidur. Begitu pula sebelum tidur, aku tidak lupa meneguk air putih. Aku tidak tahu sejak kapan aku menyandang kebiasaan ini. Mungkin sejak di bangku kuliah ini. Kalau tidak salah aku pernah melihat kakakku melakukannya. Dari sinilah mungkin aku meniru perilaku yang aku sendiri tidak tahu apa tujuannya. Aku hanya pernah baca di artikel bahwa salah satu cara pencegahan penyakit maag adalah meminum air putih di pagi hari, lalu bagaimana dengan malam hari?
Ternyata di balik semua itu, meminum air putih ada manfaatnya. Beberapa waktu yang lalu aku berkungjung ke rumah temanku dan tanpa sengaja aku membaca tulisan-tulisan di dinding kamarnya. Salah satu dari tulisan-tulisan tersebut adalah “Terapi Air”… Kini aku telah menemukan jawabannya. Dalam tulisan terapi air tersebut, cara-cara yang dilakukan adalah dengan meminum beberapa gelas air sebelum tidur dan pada saat bangun tidur, serta pada waktu-waktu yang ditentukan.
Setelah sholat, aku beristirahat sedikit dan menenangkan pikiran. Namun aku tak begitu tenang, rupanya demo besar-besaran di kampung tengah sedang terjadi. Kunyalakan dispenser, hendak memanaskan air. Sambil menunggu air panas, aku langsung menyiapkan baskom dan ku tuangi deterjen ke dalamnya. Aku tak sudi membiarkan pakaian kotorku menggunung disana, di samping lemariku. Kumpulan pakaian ini yang mungkin mengundang pasukan-pasukan nyamuk untuk menyerbuku, ditambah pula sampah di kantong di sudut kamarku yang belum kubuang. Lengkaplah sudah penginapan si nyamuk. Hari ini mungkin waktu yang tepat untuk mencuci. Ya, sang surya pagi ini tersenyum-senyum begitu bahagia sehingga dapat diasumsikan bahwa hari ini ia ingin berbagi kebahagiaan dengan manusia. Ia ingin menebar panasnya sepanjang hari.
Kurogoh kantung celanaku, mengambil uang seribu dan keluar sebentar ke kios depan membeli roti untuk menyumbat mulut para pendemo di perutku (si kampung tengah). Seribu rupiah = sebungkus roti…untuk1 kampng tengah? Oh… bisakah anda bayangkan itu? Yah, itulah kebiasaanku. Beginilah hidup di planet orang, kadang-kadang kita terpaksa untuk mengurangi kecepatan aliran dana yang kita keluarkan, sekalipun kita juga kadang bersenang-senang. Makan sebungkus roti di pagi hari, ditambah segelas teh manis (kadang susu) adalah suatu kebiasaan yang sangat baik. Kadang- kadang kita hanya meminum air putih saja. Oh,,,whata pity you are. Kata ini mungkin yang terlontar dari orang Bule yang mengejek kita. Hahaha. Itu tidak mungkin. Kalau orang Makassar mungkin akan mengatakan O kodoong,,kasianmu itu. Setelah selesai melahap breakfast-ku, aku segera mencuci.
Aku termasuk orang yang butuh waktu lama dalam mencuci. Biasanya aku butuh satu jam untuk menyelesaikan cucianku atau bahkan lebih. Itu pun untuk sedikit pakaian, bagaimana kalau banyak. Aku juga tidak tahu kenapa demikian. Sepertinya aku terlalu menikmati caraku mencuci. Sepanjang yang kuamati, caraku mencuci sejak aku mulai belajar mencuci pakaian sendiri tidak pernah berubah. Inilah proses mencuciku, yang membuhtuhkan waktu lama, but I love it.
….Kressk,,,kresek,,,kressk….kresskk…
Bunyi mie instan yang kuremukkan dan siap untuk dituang di pemanas airku yang kini tengah mengeluarkan uap-uap panas. Segera ku tuang mie tersebut ke dalamnya dan kusiapkan bumbu-bumbunya. Tidak lupa kusiapkan juga potongan-potongan cabe agar lebih hot nantinya. Matahari sudah meninggi sejak tadi, hingga ke tengah-tengah. Aku pun sudah memenuhi panggilan-Nya sejak tadi, panggilan untuk Duhur. Dengan ditemani sepiring nasi, aku menyantap mie yang sudah siap saji degan aroma yang tak terbayang kelezatannya. Itu seperti kata iklan. Inilah makananku yang selalu memaksaku ketika aku malas membeli lauk lainnya seperti sayur, tahu, tempe, atau ikan. Aku adalah seorang pecandu mie instan sejak SMA, namun akhir-akhir ini aku berusaha menguranginya, kecuali dalam keadaan terpaksa alias malas membeli sayur-tahu-tempe… Namun kadang-kadang aku merindukannya. Itulah orang yang sudah kecanduan. Kadang-kadang kepalaku berasa tidak enak setelah menyantap mie instan, terutama mie goreng. Mungkin karena bahan-bahan kimianya yang sudah menumpuk di dalam tubuhku hingga mempengaruhi saraf-saraf di otakku.
Setelah kebutuhan perutku terpenuhi, aku duduk beristirahat ditemani kipas angin mungilku yang telah ku-set arahnya padaku. Maklum, hari ini begitu panas, ditambah lagi pedasnya mie instan yang kuhabiskan hingga tak menyisakan satu potongannya pun di mangkuk. Sambil beristirahat, aku nyalakan notebookku, dan menonton film. Film yang pernah kunonton sebelumnya, namun sangat menarik untuk ditonton kembali. Pada pukul dua kurang beberapa menit, aku memutuskan untuk tidur siang dan mulai bersurfing dalam mimpi-mimpi indah.
Pukul 3.22. Aku terbangun, meneguk segelas air putih dan keluar kamar mengambil air wudhu untuk sholat. Aku memang biasanya terpanggil untuk sholat, namun kadang-kadang aku mengabaikannya, kadang-kadang sholat tidak lengkap lima waktu. Aku tahu, aku masih manusia, yang tak luput dari dosa-dosa. Aku bukanlah malaikat, buka juga dewa. I’m only human, kata Michael Jackson. Kadang-kadang aku sadar, kadang-kadang tidak. Namun, aku mencoba untuk itu.
Waktuku biasanya kuisi dengan bermain gitar dan menyanyi. Aku orang yang sangat cinta pada musik. Kadang terdengar musik melantun dari kamarku. Aku juga biasanya mengisi waktuku dengan membaca, namun kegiatan ini sudah kutinggalkan, hingga aku sering saja melakukannya.
Pukul lima lebih beberapa menit aku bergegas mandi. Setelah berpakaian, aku menyempatkan diri berdiri didepan rumah menunggu cahaya kehidupan mengucapkan sayonara, dan membiarkan tebaran warnah merah menghiasi langit hingga berubah perlahan-lahan menjadi gelap dan menjadi malam yang akan dipenuhi bintang-bintang.

Makassar, Sabtu, 18 Juni 2011
Abdi Masbara

Let them flow well...

Setelah saya kenang kembali segala sesuatu yang pernah terjadi pada diri saya, sejak pertamakali mencium bau kehidupan, merasakan hangatnya pelukan keluarga, menikmati indahnya dunia ini, hingga saya dewasa seperti sekarang ini (udah menginjak umur 20-21), banyak hal yang berubah, of course. Memang perubahan itu tetap ada dan tentunya siapapun pasti tahu akan hal itu.

Saya mengutip kata dari seorang Filsuf Yunani, Heraclitos, yang menyatakan bahwa “segala sesuatu itu mengalir”… Kurang lebih seperti itu katanya (mohon ma’af, saya berusaha mengingatnya). Menurutnya bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini akan terus berubah. Tidak ada yang abadi. Maksudnya adalah sesuatu akan berubah menjadi sesuatu yang lain pada waktunya, setelah itu sesuatu itupun akan berubah lagi menjadi yang lainnya. Ini bisa dikatakan sebagai suatu proses lingkaran kehidupan (menurut saya…hehehe). By the way, anda pasti bingung dengan penjelasan pada pernyataan sebelumnya di atas, iya kan??? Ngaku aja…tuch benar kan… Saya akan berikan contoh, misalnya kita manusia, setelah menjalani kehidupan yang begitu panjang (ada juga yg pendek lho), manusia akan mati, ia membusuk, menjadi bangkai, dan akhirnya berubah menjadi tanah. Tidak hanya sampai disitu, tanah tersebut menjadi zat hara yang nantinya akan digunakan oleh tumbuhan, tumbuhan akan mati,tumbuhan juga akan dimakan oleh manusia. Begitulah seterusnya. Sehingga dapat diasumsikan bahwa kehidupan ini/segala sesuatu yang ada di dunia ini, baik yang hidup maupun yang mati berasal dari satu substansi. Itulah sebabnya banyak ahli-ahli filsafat yang mengemukakan asal muasal kehidupan. Ada yang mengatakan bahwa kehidupan/segala sesuatu itu berasal dari air, dari api dan masih banyak lagi. Juga kita kenal ahli biologi, Fransisco Redi, yang telah melakukan percobaan dan meyimpulkan bahwa makhluk hidup itu berasal dari makhluk yang mati. Mungkin ilmuwan sekarang ini sudah mengetahui asal kehidupan tersebut (saya belum dapat info mengenai itu, maklum kurang baca…hehehe). Pembaca jagan tegang dulu yach…? Mudah-mudahan tidak. Memang penjelasan saya agak ribet, sedikit membuat kepala anda berpikir-pikir. Tapi tidak apalah, itu juga kan ilmu, setuju gak? Just read, then everything is going to be OK, itu kata Bondan Prakoso.

Kayaknya kita sudah jauh melayang-layang, iya kan? Ya memang, sebenarnya topik yang saya ingin ceritakan hanyalah tentang perubahan, segala perubahan yang terjadi sejak kita lahir sampai sekarang. Menulis memang akan membuat kita melayang-layang, terbang ke segala arah. Itulah sebabnya dari satu topik akan merambah ke topik lain, karena pikiran akan berjalan terus-menerus selagi kita keasyikan menulis. Lanjut, perubahan yang saya maksud disini adalah perubahan dari segi fisik dan batin, juga perubahan pada lingkungan disekitar kita.

Perubahan memang sangat menarik untuk diperbincangkan. Bayangkan saja ketika anda membuka-buka album foto keluarga atau mendapat foto anda sewaktu masih kecil, masih imut-imut, kerempeng (sst, gak kali yach). Apakah yang anda rasakan? Mungkin anda akan tertawa terbahak-bahak hingga ingin pipis. Atau anda ingin mencubit pipi mungil anda namun cuma sebatas foto. Anda juga bisa melihat video rekaman anda beberapa tahun lalu dan anda bandingkan dengan sekarang. Atau saja anda masih menyimpan baju masa kecil anda, dan sebagainya. Pada orang tua, yang sudah kawin, suami-istri ataupun kakek-nenek, mereka kadang-kadang mengingat masa pacaran mereka dan masa perkawinan mereka dan membandingkan dengan usia yang mereka jalani sekarang. Anda masih ingin contoh lain? Lihat saja di bidang style busana, gaya busana tahun 80-an dan sekarang. Hahaha…sungguh perubahan itu sangat indah.

Selain indah, perubahan itu sangat penting. Siapapun pasti akan ingin perubahan. Dalam konteks lingkungan kita, kehidupan sehari-hari kita, perubahan sangat diinginkan karena itu menandakan suatu kemajuan. Suatu daerah yang mengalami perubahan besar-besaran dalam segala bidang bisa dikatakan daerah itu maju.
Perubahan besar itu banyak macam, ada yang dikatakan revolusi dan lain-lain. Salah satus dari perubahan yang sering kita dengar saat ini adalah globalisasi. Inilah yang sedang merambah dunia, dari tahun ke tahun, dan tentunya Negara kita, Indonesia, juga mengalaminya. Dalam proses globalisasi, penyebaran budaya ataupun kultur (saya maksud bukan emigrasi budaya) sangat dominan, hal ini juga selalu diikuti oleh perubahan mode pakaian. Negara yang super power (umumnya Negara-negara Barat) sering dijadikan kiblat oleh Negara lain dengan mengadopsi segala perubahan-perubahan di segala bidang. Di satu pihak globalisasi bisa menguntungkan namun di pihak lain ia juga bisa membahayakan. Ia bisa dikatakan sebagai pisau bermata dua. Bagi Negara yang tidak mempunyai filter yang kuat, maka tunggulah efek-efek buruk globalisasi menyerang. Olehnya itu kita bangsa Indonesia seharusnya telah siap dari awal untuk menghadapi globalisasi. Kita tidak boleh terpengaruh ataupun bangsa lain tidak boleh merusak kultur kita yang sungguh indah ini. Let’s keep it. Kali ini saya tidak akan membahas tentang fakta dari arus globalisasi yang sedang melanda kaum remaja di Indonesia, andalah yang lihat sendiri dan pikirkanlah. Sejauh mana anda akan mengubah sikap anda dan memfilter efek-efek yang buruk dari globalisasi.

Ini mungkin merupakan bagian terakhir dari coretan-coretan saya ini dan saya baru sadar bahwa anda hampir bingung dengan isi tulisan ini. Anda juga pasti akan berfikir, genre tulisan ini seperti apa sich? Hahaha,,, itu tidak perlu, bacalah saja, apa yang anda dapatkan itulah yang perlu. Sekali lagi saya katakan bahwa perubahan itu sangat menarik untuk diperbincangkan. Hal yang perlu kita lakukan kemudian adalah jalanilah perubahan itu apa adanya. Kita tidak bisa menolak suatu perubahan, terutama perubahan fisik pada diri kita. Untuk perubahan di lingkungan kita, kita butuh filter yang sangat kuat. Perubahan itu akan terus ada, dimanapun dan kapanpun, oleh karena itu just let them flow well,,…

Makassar,11 Juni 2011

More Sports, Less Fat

Everybody has their own way in decreasing their fat. One of the good ways to do is doing sport. It is said that doing sport can burn fat on our body. Playing volleyball, football, badminton, and jogging are some kinds of well-known sport that we can do everyday. Some people prefer doing gymnastic than another sports. In fact, all sports have the same purpose. They all can make our body become healthy and surely can decrease fat.

Paramore The Only Exception Lyrics


When I was younger
I saw my daddy cry
And curse at the wind
He broke his own heart
And I watched
As he tried to reassemble it

And my momma swore that
She would never let herself forget
And that was the day that I promised
I'd never sing of love
If it does not exist

But darling,
You, are, the only exception
You, are, the only exception
You, are, the only exception
You, are, the only exception

Maybe I know, somewhere
Deep in my soul
That love never lasts
And we've got to find other ways
To make it alone
Keep a straight face

And I've always lived like this
Keeping a comfortable, distance
And up until now
Paramore The Only Exception lyrics found on http://www.directlyrics.com/paramore-the-only-exception-lyrics.html

I had sworn to myself that I'm
Content with loneliness

Because none of it was ever worth the risk

Well, You, are, the only exception
You, are, the only exception
You, are, the only exception
You, are, the only exception

I've got a tight grip on reality
But I can't
Let go of what's in front of me here
I know you're leaving
In the morning, when you wake up
Leave me with some kind of proof it's not a dream

Ohh---

You, are, the only exception
You, are, the only exception
You, are, the only exception
You, are, the only exception
You, are, the only exception
You, are, the only exception
You, are, the only exception
You, are, the only exception

And I'm on my way to believing
Oh, And I'm on my way to believing

Article about The Quality of Football in Indonesia



The Quality of Football in Indonesia
Indonesian Football was mired in controversy since some years before. This case finally created many bad things to the quality of football in Indonesia. The top of the controversy was when there were many demonstrations against the nomination of Nurdin Halid as chair of PSSI (Persatuan Sepakbola Indonesia) or Indonesian Football Association. Then a brawl resulted in the cancellation of the PSSI congress in Pekanbaru. But the most serious problem was the emergence of a Breakaway Football League Last January: Liga Primer Indonesia or LPI (Indonesia Premier League). Many effects that have been done to Indonesian Football, governments in PSSI do not see the way to improve the quality of football but they develop The association for getting money, doing corruption in PSSI, even they make it as a political work.
Blog Catatan Bujangan says that Indonesia has not yet won a medal from international games: Since 1991 up to now Indonesia had not won titles. No gold medals were achieved, even in the Tiger Cup which has been renamed AFF, we have never been a champion. In a column written in ESPNSPORT.com, Jesse Fink thinks that FIFA should better lend a hand in improving Indonesia's football. According to him this is the step needed to save Indonesia's football.
If we talk about the quality of football, we have to look at the quality of player, club, and the competition. The quality of club and competition will influence the quality of player. According to fariddjunks.blogspot.com, Indonesian Football Players have some weaknesses :
  1. Indonesian player has a very bad football basic skills. To prove it, watch a passing, shooting, and positioning Indonesian Player. Compare it with European, Latino, or maybe Japan and South Korean. I believe you will agree with me.
  2. There is no an opportunist striker with a high sense of creating goal’s. Actually, Indonesia has Bambang Pamungkas as a good striker. But, he’s not an opportunist striker like Ruud Van Nistelrooy, or Samuel Eto’o. He is more capable to play in 2 striker modes than 3 strikers with 2 wings.
  3. League Quality runs too far than national team quality. Look at England National teams. Their league was improved to become the best league in the world. What is an effect? foreign player was booming, so the local player must compete them. Finally, the same quality of local  player will be the other choice because business and popularity reason. It makes  local player chose to play in lower team and they can’t improve their skills nor lacks of international match event. It’s happened in Indonesian Leagues too. Now, Indonesian leagues become one of the best league in south east asia. It makes the same condition with england premier league. Club will get the foreign player with same quality (maybe better) with a lower price. Good player won’t be improved and choose to play in lower club level. The solution is naturalization and send Indonesian player to foreign leagues (in more competitive leagues like european league or Japan/South korean league). Naturalization can improve national team quality, and foreign leagues can make local player feel a good atmosphere in competition and become a good player.
  4. The worst management of PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia).
  5. The worst regeneration of Indonesian football team. To analyze this reason, there are some facts. First, the frequency of football field in village is bigger than city. Second, the air quality in village is more fresh than in city. From this fact, we can conclude that villagers have many probability to be a good football player than people in city. But why PSSI always try to search a great player from city, not like the other sport?
  6. Indonesian players  play with their body (physical contact), that’s not a genius player!! What are the carachteristics of genius player? They do a good decision, they can read the playing plot, and they combine logic and intuitive.  Paolo Maldini, Zinedine Zidane, David Beckham, Juan Roman Riquelme, Kaka, Fabio Cannavaro, Andrea Pirlo, Franc Ribery, Miroslav Klose, Shunsuke Nakamura, Younes Mahmoud, Franz Beckenbauer, Michel Platini, Johan Cruijff is a genius player. In indonesia, there is Widodo C.Putro, Fachri Husaini, or Bima Sakti who use their brain to play football. Now, this type of player is very rare..
  7. The worst of mentality.
Now if we look at the result of many games or competitions that have been done by some football clubs in Indonesia, it shows that there are many develpments in the quality of football in Indonesia. As the fact, we can the result of AFF Competition some months ago, Indonesian Football Team got the second place of the winner. It also shows the improvement which is done by Alfred Riedl, the coach of Indonesian fooball team. By this success we can take a point that Indonesia really needs touch of foreigner to improve the quality of football. We need foreign coaches, naturalization of player, traning with foreign player, player exchange, etc.
There are some ways to improve the quality of Football in Indonesia, such as :
1.      Improve the management of the Football association in Indonesia like PSSI, take a good chief to lead the association.
2.      Need naturalization for the players.
3.      Provide chance for Indonesian player to play in foreign country.
4.      Maintance a good nutrition for players.
5.      Take foreign coach to lead Indonesian Football Clubs
6.      Look for good player all over Indonesia, from village to city, provinces by provinces. For example, players from Irian Jaya. They have good physic and good playing. They can be offered to lead Indonesia Football Team.
7.      Do many football tranings to improve skills.
8.      Streghten the quality of Clubs and Competitions.
9.      Players must have good mentality and great wish to develop.

The Bet

Anton  Chekhov

It was a dark autumn night. The old banker was walking up and down his study and remembering how, fifteen years before, he had given a party one autumn evening. There had been many clever men there, and there had been interesting conversations. Among other things they had talked of capital punishment. The majority of the guests, among whom were many journalists and intellectual men, disapproved of the death penalty. They considered that form of punishment out of date, immoral, and unsuitable for Christian States. In the opinion of some of them the death penalty ought to be replaced everywhere by imprisonment for life. "I don't agree with you," said their host the banker. "I have not tried either the death penalty or imprisonment for life, but if one may judge a priori, the death penalty is more moral and more humane than imprisonment for life. Capital punishment kills a man at once, but lifelong imprisonment kills him slowly. Which executioner is the more humane, he who kills you in a few minutes or he who drags the life out of you in the course of many years?"
"Both are equally immoral," observed one of the guests, "for they both have the same object - to take away life. The State is not God. It has not the right to take away what it cannot restore when it wants to."
Among the guests was a young lawyer, a young man of five-and-twenty. When he was asked his opinion, he said:
"The death sentence and the life sentence are equally immoral, but if I had to choose between the death penalty and imprisonment for life, I would certainly choose the second. To live anyhow is better than not at all."
A lively discussion arose. The banker, who was younger and more nervous in those days, was suddenly carried away by excitement; he struck the table with his fist and shouted at the young man:
"It's not true! I'll bet you two million you wouldn't stay in solitary confinement for five years."
"If you mean that in earnest," said the young man, "I'll take the bet, but I would stay not five but fifteen years."
"Fifteen? Done!" cried the banker. "Gentlemen, I stake two million!"
"Agreed! You stake your millions and I stake my freedom!" said the young man.
And this wild, senseless bet was carried out! The banker, spoilt and frivolous, with millions beyond his reckoning, was delighted at the bet. At supper he made fun of the young man, and said:
"Think better of it, young man, while there is still time. To me two million is a trifle, but you are losing three or four of the best years of your life. I say three or four, because you won't stay longer. Don't forget either, you unhappy man, that voluntary confinement is a great deal harder to bear than compulsory. The thought that you have the right to step out in liberty at any moment will poison your whole existence in prison. I am sorry for you."
And now the banker, walking to and fro, remembered all this, and asked himself: "What was the object of that bet? What is the good of that man's losing fifteen years of his life and my throwing away two million? Can it prove that the death penalty is better or worse than imprisonment for life? No, no. It was all nonsensical and meaningless. On my part it was the caprice of a pampered man, and on his part simple greed for money ..."
Then he remembered what followed that evening. It was decided that the young man should spend the years of his captivity under the strictest supervision in one of the lodges in the banker's garden. It was agreed that for fifteen years he should not be free to cross the threshold of the lodge, to see human beings, to hear the human voice, or to receive letters and newspapers. He was allowed to have a musical instrument and books, and was allowed to write letters, to drink wine, and to smoke. By the terms of the agreement, the only relations he could have with the outer world were by a little window made purposely for that object. He might have anything he wanted - books, music, wine, and so on - in any quantity he desired by writing an order, but could only receive them through the window. The agreement provided for every detail and every trifle that would make his imprisonment strictly solitary, and bound the young man to stay there exactly fifteen years, beginning from twelve o'clock of November 14, 1870, and ending at twelve o'clock of November 14, 1885. The slightest attempt on his part to break the conditions, if only two minutes before the end, released the banker from the obligation to pay him the two million.
For the first year of his confinement, as far as one could judge from his brief notes, the prisoner suffered severely from loneliness and depression. The sounds of the piano could be heard continually day and night from his lodge. He refused wine and tobacco. Wine, he wrote, excites the desires, and desires are the worst foes of the prisoner; and besides, nothing could be more dreary than drinking good wine and seeing no one. And tobacco spoilt the air of his room. In the first year the books he sent for were principally of a light character; novels with a complicated love plot, sensational and fantastic stories, and so on.
In the second year the piano was silent in the lodge, and the prisoner asked only for the classics. In the fifth year music was audible again, and the prisoner asked for wine. Those who watched him through the window said that all that year he spent doing nothing but eating and drinking and lying on his bed, frequently yawning and angrily talking to himself. He did not read books. Sometimes at night he would sit down to write; he would spend hours writing, and in the morning tear up all that he had written. More than once he could be heard crying.
In the second half of the sixth year the prisoner began zealously studying languages, philosophy, and history. He threw himself eagerly into these studies - so much so that the banker had enough to do to get him the books he ordered. In the course of four years some six hundred volumes were procured at his request. It was during this period that the banker received the following letter from his prisoner:
"My dear Jailer, I write you these lines in six languages. Show them to people who know the languages. Let them read them. If they find not one mistake I implore you to fire a shot in the garden. That shot will show me that my efforts have not been thrown away. The geniuses of all ages and of all lands speak different languages, but the same flame burns in them all. Oh, if you only knew what unearthly happiness my soul feels now from being able to understand them!" The prisoner's desire was fulfilled. The banker ordered two shots to be fired in the garden.
Then after the tenth year, the prisoner sat immovably at the table and read nothing but the Gospel. It seemed strange to the banker that a man who in four years had mastered six hundred learned volumes should waste nearly a year over one thin book easy of comprehension. Theology and histories of religion followed the Gospels.
In the last two years of his confinement the prisoner read an immense quantity of books quite indiscriminately. At one time he was busy with the natural sciences, then he would ask for Byron or Shakespeare. There were notes in which he demanded at the same time books on chemistry, and a manual of medicine, and a novel, and some treatise on philosophy or theology. His reading suggested a man swimming in the sea among the wreckage of his ship, and trying to save his life by greedily clutching first at one spar and then at another.

The old banker remembered all this, and thought:
"To-morrow at twelve o'clock he will regain his freedom. By our agreement I ought to pay him two million. If I do pay him, it is all over with me: I shall be utterly ruined."
Fifteen years before, his millions had been beyond his reckoning; now he was afraid to ask himself which were greater, his debts or his assets. Desperate gambling on the Stock Exchange, wild speculation and the excitability whic h he could not get over even in advancing years, had by degrees led to the decline of his fortune and the proud, fearless, self-confident millionaire had become a banker of middling rank, trembling at every rise and fall in his investments. "Cursed bet!" muttered the old man, clutching his head in despair "Why didn't the man die? He is only forty now. He will take my last penny from me, he will marry, will enjoy life, will gamble on the Exchange; while I shall look at him with envy like a beggar, and hear from him every day the same sentence: 'I am indebted to you for the happiness of my life, let me help you!' No, it is too much! The one means of being saved from bankruptcy and disgrace is the death of that man!"
It struck three o'clock, the banker listened; everyone was asleep in the house and nothing could be heard outside but the rustling of the chilled trees. Trying to make no noise, he took from a fireproof safe the key of the door which had not been opened for fifteen years, put on his overcoat, and went out of the house.
It was dark and cold in the garden. Rain was falling. A damp cutting wind was racing about the garden, howling and giving the trees no rest. The banker strained his eyes, but could see neither the earth nor the white statues, nor the lodge, nor the trees. Going to the spot where the lodge stood, he twice called the watchman. No answer followed. Evidently the watchman had sought shelter from the weather, and was now asleep somewhere either in the kitchen or in the greenhouse.
"If I had the pluck to carry out my intention," thought the old man, "Suspicion would fall first upon the watchman."
He felt in the darkness for the steps and the door, and went into the entry of the lodge. Then he groped his way into a little passage and lighted a match. There was not a soul there. There was a bedstead with no bedding on it, and in the corner there was a dark cast-iron stove. The seals on the door leading to the prisoner's rooms were intact.
When the match went out the old man, trembling with emotion, peeped through the little window. A candle was burning dimly in the prisoner's room. He was sitting at the table. Nothing could be seen but his back, the hair on his head, and his hands. Open books were lying on the table, on the two easy-chairs, and on the carpet near the table.
Five minutes passed and the prisoner did not once stir. Fifteen years' imprisonment had taught him to sit still. The banker tapped at the window with his finger, and the prisoner made no movement whatever in response. Then the banker cautiously broke the seals off the door and put the key in the keyhole. The rusty lock gave a grating sound and the door creaked. The banker expected to hear at once footsteps and a cry of astonishment, but three minutes passed and it was as quiet as ever in the room. He made up his mind to go in.
At the table a man unlike ordinary people was sitting motionless. He was a skeleton with the skin drawn tight over his bones, with long curls like a woman's and a shaggy beard. His face was yellow with an earthy tint in it, his cheeks were hollow, his back long and narrow, and the hand on which his shaggy head was propped was so thin and delicate that it was dreadful to look at it. His hair was already streaked with silver, and seeing his emaciated, aged-looking face, no one would have believed that he was only forty. He was asleep ... In front of his bowed head there lay on the table a sheet of paper on which there was something written in fine handwriting.
"Poor creature!" thought the banker, "he is asleep and most likely dreaming of the millions. And I have only to take this half-dead man, throw him on the bed, stifle him a little with the pillow, and the most conscientious expert would find no sign of a violent death. But let us first read what he has written here ... "
The banker took the page from the table and read as follows:
"To-morrow at twelve o'clock I regain my freedom and the right to associate with other men, but before I leave this room and see the sunshine, I think it necessary to say a few words to you. With a clear conscience I tell you, as before God, who beholds me, that I despise freedom and life and health, and all that in your books is called the good things of the world.
"For fifteen years I have been intently studying earthly life. It is true I have not seen the earth nor men, but in your books I have drunk fragrant wine, I have sung songs, I have hunted stags and wild boars in the forests, have loved women ... Beauties as ethereal as clouds, created by the magic of your poets and geniuses, have visited me at night, and have whispered in my ears wonderful tales that have set my brain in a whirl. In your books I have climbed to the peaks of Elburz and Mont Blanc, and from there I have seen the sun rise and have watched it at evening flood the sky, the ocean, and the mountain-tops with gold and crimson. I have watched from there the lightning flashing over my head and cleaving the storm-clouds. I have seen green forests, fields, rivers, lakes, towns. I have heard the singing of the sirens, and the strains of the shepherds' pipes; I have touched the wings of comely devils who flew down to converse with me of God ... In your books I have flung myself into the bottomless pit, performed miracles, slain, burned towns, preached new religions, conquered whole kingdoms ...
"Your books have given me wisdom. All that the unresting thought of man has created in the ages is compressed into a small compass in my brain. I know that I am wiser than all of you.
"And I despise your books, I despise wisdom and the blessings of this world. It is all worthless, fleeting, illusory, and deceptive, like a mirage. You may be proud, wise, and fine, but death will wipe you off the face of the earth as though you were no more than mice burrowing under the floor, and your posterity, your history, your immortal geniuses will burn or freeze together with the earthly globe.
"You have lost your reason and taken the wrong path. You have taken lies for truth, and hideousness for beauty. You would marvel if, owing to strange events of some sorts, frogs and lizards suddenly grew on apple and orange trees instead of fruit, or if roses began to smell like a sweating horse; so I marvel at you who exchange heaven for earth. I don't want to understand you.
"To prove to you in action how I despise all that you live by, I renounce the two million of which I once dreamed as of paradise and which now I despise. To deprive myself of the right to the money I shall go out from here five hours before the time fixed, and so break the compact ..."
When the banker had read this he laid the page on the table, kissed the strange man on the head, and went out of the lodge, weeping. At no other time, even when he had lost heavily on the Stock Exchange, had he felt so great a contempt for himself. When he got home he lay on his bed, but his tears and emotion kept him for hours from sleeping.
Next morning the watchmen ran in with pale faces, and told him they had seen the man who lived in the lodge climb out of the window into the garden, go to the gate, and disappear. The banker went at once with the servants to the lodge and made sure of the flight of his prisoner. To avoid arousing unnecessary talk, he took from the table the writing in which the millions were renounced, and when he got home locked it up in the fireproof safe.

"Kisah Cinta dan Sahabat"

Suatu hari Cinta bertanya pada Sahabat :
“Untuk apa kamu ada jika sudah ada aku?”
Kemudian Sahabat menjawab:
“Untuk meletakkan senyum saat Cinta meninggalkan air mata.”
“Aku ada disaat kamu duka, dan kamu ada disaat aku susah.”

Suatu hari Cinta dan Sahabat berjalan di desa.

Tiba-tiba Cinta jatuh ke dalam telaga…Kenapa?
Karena Cinta itu buta.
Lalu sahabat pun ikut terjun…Kenapa?
Karena Sahabat akan berbuat apapun demi Cinta.
Di dalam telaga Cinta hilang…Kenapa?
Karena Cinta itu halus, mudah hilang jika tidak dijaga dan sulit dicari.
Sedangkan Sahabat masih mencari dan menunggu Cinta…Kenapa?
Karena Sahabat itu sejati dan akan kekal sebagai sahabat yang setia.

So,,,Hargai dan sayangilah Sahabatmu selagi dia masih ada.


Dikutip dari Pesan Singkat Teman

"Tentang Kehilangan"


Suatu hari, seorang yang sedang putus cinta menangis di Taman. Saat itu, datang seorang ahli filsafat dan bertanyalah ia kepada orang itu:
“Mengapa kamu menangis?”
“Aku sangat sedih, mengapa dia meninggalkan aku.” Jawab orang itu.
Ahli filsafat itu tertawa dan berkata:
“Kamu BODOH sekali”
Orang itu menjawab: “Aku sedang putus cinta, mengapa kau berkata begitu?”
Ahli filsafat itu berkata:
“Bodoh, kamu tak perlu bersedih. Karena seharusnya yang sedih adalah dia.”
Orang itupun bertanya:
“Mengapa dia yang bersedih? Kan dia yang meninggalkan aku?”
Ahli filsafat itu kemudian menjawab:
“KARENA KAMU HANYA KEHILANGAN ORANG YANG TAK MENCINTAIMU. TAPI DIA KEHILANGAN ORANG YANG SANGAT MENCINTAINYA.”

Dikutip dari SMS (Pesan Singkat) dari teman.

Happy Birthday

Ucapan Selamat Ulang Tahun
….a beautiful day returns slowly, then goes fastly.
Dreams are on the surface of life…waiting for the sun shine in the morning.
We just raise our hand up and touch the moon…that’s all we need.
“Happy Birthday”…I wish Allah bless you forever.

Dust In The Wind Lyric



Dust In The Wind-Kansas
I close my eyes, only for a moment, and the moment's gone
All my dreams, pass before my eyes, a curiosity
Dust in the wind, all they are is dust in the wind
Same old song, just a drop of water in an endless sea
All we do, crumbles to the ground, though we refuse to see

Dust in the wind, All we are is dust in the wind

Don't hang on, nothing lasts forever but the earth and sky
It slips away, all your money won't another minute buy

Dust in the wind, All we are is dust in the wind

Sepenggal Kata

Menulislah, maka anda akan meraba dunia, dan membacalah maka anda akan melihat dunia...

READ

......
Template Oleh trikmudahseo