Selamat membaca
2014
semoga bermanfaat

WIDGET

Label

Total Tayangan Halaman

Popular Posts

Diberdayakan oleh Blogger.

Followerku

BlogRoll

Blogger news

Bahagia itu nikmat, senikmat kopi dengan moka putih.

Cinta Sakota Dua



Cinta yang skarang katong dua punya
So seng bisa pisah
Kota ambong saja yang jadi saksi
Katong  pung cinta nyonge

Rindu deng ale sama yang pernah
Katong dolo-dolo
Kenangan indah carita cinta
Disudut kota ambong

Katong dua sakota deng motor matic
Lewat tanah lapang kacil
Mampir dudu di pantai losari
Tong manyanyi su bilang cinta
Kanang tairis katong pung hati….sio nyonge
Akang sama deng nong manyanyi

Iko jalur merdeka ka tantui
Itu tampa yang paling romantis
Lampu lima tarus ka anjungan
Nyong bilang beta polo rapa
Katong pung cinta akang su damai
Bajalang lurus, turung-turung batu merah…

Ada Rindu





Ada Rindu

Ada rindu yang mengalir
Diantara bebatuan Bantimurung
Terselip di kedua kelopak mata dan kepala
Kemudian jatuh melebur di dada


Ada rindu yang berhembus
Di hamparan pasir pantai Bira
Terpaut dalam rasa
Kemudian jatuh terhampar di dasar sukma

Pun ada rindu yang membeku
Pada dinginnya malam di Samalona
Pada ranting-ranting pinus di Puncak Gowa
Kemudian jatuh menjadi nelangsa


(AM Lumbon)

Peling Selatan: Sebuah Wilayah, Sebuah Nama, Sebuah Cerita


 Peta Pulau Peling, Kabupaten Banggai Kepulauan
Peling Selatan adalah nama sebuah wilayah yang tergagas dalam rapat pembentukan Forum Perjuangan Pemekaran Kecamatan di Desa Okumel pada Sabtu, 10 Mei 2014 lalu. Nama Peling Selatan terbentuk berdasarkan  hasil voting tertinggi para peserta rapat dengan beberapa option nama kecamatan, antara lain Mokitos, Liang Selatan, dan Peling Selatan. Wilayah Peling Selatan mencakup beberapa wilayah desa yang bertempat di Kecamatan Liang di bagian Selatan. Olehnya itu, nama Kecamatan Liang Selatan sempat muncul dalam pengusulan nama kecamatan, namun akhirnya nama Peling Selatan menjadi hasil final peserta rapat yang dihadiri oleh para Kepala Desa dan aparatnya serta tokoh-tokoh masyarakat se-wilayah Liang Selatan. Jika dilihat pada peta Pulau Peling, nama Peling Selatan-lah yang bisa jadi tepat untuk melukiskan wilayah di selatan Kecamatan Liang itu. Desa-desa yang tergabung dalam wilayah Peling Selatan ini adalah Desa Mamulusan, Kindandal, Tomboniki, Okumel, Loolong, Selekan, Popidolon, dan Tangkop (Pinalong).
Kunjungan Bapak Bupati Banggai Kepulauan, Drs. Lania Laosa di Desa Okumel dalam rangka Lomba Desa Kabupaten 2014.
Sebagai pusat dari wilayah Peling Selatan, Desa Okumel menjadi bakal calon ibukota Kecamatan Peling Selatan. Ada pula beberapa desa lain yang bersedia mengajukan diri menjadi ibu kota. Namun, jika dilihat dari berbagai aspek, Desa Okumel-lah yang tepat untuk menggondol predikat ibukota kecamatan. Pada aspek Pendidikan, di Desa Okumel telah berdiri sebuah sekolah TK, dua buah SD, sebuah SMP Negeri, dan sebuah SMA. Okumel juga dahulunya berdiri SMP tertua se-Liang Selatan yakni SMP Mokitos Okumel. SMP bersejarah ini telah berhasil mencetak lulusan-lulusan yang luar biasa. Lebih lanjut, Desa Okumel telah melahirkan begitu banyak sarjana-sarjana dan kader-kader organisasi yang patut diperhitungkan. Pada aspek letak geografis, Desa Okumel berada pada wilayah yang strategis, yakni pada pusat wilayah Peling Selatan, dengan jarak tempuh yang sangat dekat dari daerah-daerah lain......(artikel lebih lengkap dapat anda kunjungi di blog "F2P Kecamatan Peling Selatan") :)

06.05.14



Cinta itu seperti moka putih, senja ini, dan hembusan angin...

Pic


Lemelu dan Cinta Tenri

"Nominasi 50 besar Cerpen Non-fiksi Lomba Tulis Nusantara 2013"


Oleh: Abdi Masbara Lumbon

Tenri menarik foto berbalut bingkai kuning keemasan yang terpajang di mejanya. Ia menatap dalam-dalam foto itu, memeluknya erat-erat…

“Ini salah satu tempat terindah di daerahku ini, Tenri.  Bebatu yang rata ini, air yang jernih dan tenang ini, adalah surga yang menyimpan misteri yang begitu indah. Mata air ini adalah mata air cinta, kebersamaan, persahabatanNanti akan kuceritakan padamu misteri itu, Tenri…”  
Tenri meniru kata-kata yang diucapkan Aso ketika mereka menginjakkan kaki di Mata Air Lemelu, salah satu daerah wisata di Pulau Peling di timur Sulawesi yang menyajikan jutaan keindahan alam yang memesona dan luar biasa.

Tenri memandang keluar jendela. Gadis Bugis berkulit sawo matang itu tengah mengingat halaman demi halaman memori tentang perjalanannya menjamah hampir setengah pulau Sulawesi bersama kekasihnya, Aso, seorang lelaki berdarah Banggai-Ambon yang ia temui di bangku kuliah di kampusnya di Makassar, Sulawesi Selatan. Mereka berdua sangat mencintai travelling. Itulah awal mula mereka mengukir memori-memori indah bersama – melakukan travelling, menikmati keindahan alam titipan Tuhan yang tertabur di Sulawesi.

Angin sepoi malam membelai lembut pipi Tenri. Dingin. Cuaca malam ini sedikit tidak bersahabat, langit menghitam. Tenri menarik jendela. Diluar sana bulir-bulir air hujan mulai berjatuhan. Gadis itu langsung menuju ke tempat tidur dan berbaring. Sebelum tidur, Ia kembali memutar jutaan screen dalam memorinya tentang perjalanannya dengan Aso lima tahun yang lalu.

Aso, anak seorang pedagang di Pulau Peling, Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, adalah seorang anak laki-laki pencinta alam. Sangat jarang ditemui seorang lelaki yang mempunyai sifat seperti Aso. Ketika sebagian remaja seusianya sibuk memuja produk globalisasi, bermain jejaring sosial, keluyuran, Aso lebih memilih bermain dengan alam, menikmati, hingga menjaga kelestariannya. Itulah akhirnya ia mengambil jurusan geografi dengan alasannya untuk memahami alam, hingga ia nekat menolak jurusan pilihan ayahnya, Teknik Sipil. Aso banyak menghabiskan waktu luang dan liburnya untuk berwisata, mengunjungi tempat-tempat indah, terutama di daerah tempat ia berkuliah, di Sulawesi Selatan. Bersama Tenri, ia telah mengunjungi Takabonerate di Pulau Selayar yang merupakan surga laut di Sulawesi Selatan. Mereka juga telah mencicipi keindahan Pantai Tanjung Bira, yakni pantai berpasir putih bersih yang hanya berjarak beberapa kilometer dari kampung halaman Tenri di Bulukumba.

Suatu waktu Aso dan Tenri juga telah menikmati keindahan pulau Samalona, sebuah pulau kecil yang dilumuri pasir putih berkilauan yang juga menyajikan keindahan biota laut yang indah. Pulau ini ditempuh sekitar setengah jam dari Pelabuhan Makassar degan menggunakan kapal kayu. Aso dan Tenri menikmati sore yang indah disana, melihat orang-orang memacu speed boat yang menderu-deru, orang-orang ber-snorkeling, adapula yang berfoto ria mengabadikan keindahan pulau tersebut. Aso mengajak Tenri menyaksikan matahari terbenam yang memerah hingga tenggelam di atas permukaan laut nun jauh disana, menghabiskan malam, dan bernyanyi-nyanyi di pantai menikmati angin mammiri* Pantai Samalona.

“Tenri, maukah kau ikut ke daerahku? Menjamah keindahan alam disana? Masih banyak surga-surga alam yang belum kau saksikan, terutama di daerahku, di penghujung timur Sulawesi.”
Tenri mengangguk, ia memandang Aso dalam-dalam. “Aku akan ikut, Aso…”

Seperti kebiasaannya sedari dulu semenjak bersama Aso, Tenri tidak pernah menolak ajakan Aso, terutama jika ajakan itu tentang perjalanan-perjalanan untuk menikmati keindahan alam dan objek-objek wisata. Mereka berdua memang klop, sama-sama mencintai dan menikmati alam.

Ketika ujian semester telah usai, liburan panjang menyapa. Tenri telah mempersiapkan diri untuk perjalanan panjangnya mengunjungi daerah Aso di kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah. Ia akan memasuki provinsi baru, daerah baru, yang tentunya suasananya pun baru. Tenri juga sempat memikirkan keindahan-keindahan alam baru yang akan disaksikannya disana.

Dengan bekal izin dari orang tua Tenri, mereka memulai perjalanan meninggalkan Makassar dengan menaiki bis tujuan Kabupaten Toraja. Aso sengaja memilih bis dengan trayek menuju Toraja agar ia dan Tenri bisa singgah sebentar menikmati keindahan alam dan etnis Tana Toraja, yang juga merupakan salah satu objek wisata di Sulawesi Selatan. Maklum, selama beberapa tahun berkuliah di Makassar, Aso belum pernah mengunjungi daerah Toraja. Begitu pula Tenri, sekalipun ia sudah bertahun-tahun hidup dan tinggal di Makassar, ia tak pernah mengunjungi Toraja. Di Toraja mereka mengunjungi kuburan-kuburan batu, melihat keindahan rumah-rumah Tongkonan* di Makale, juga menyaksikan alam Tana Toraja yang masih menghijau. Dari Toraja, mereka melanjutkan kembali perjalanan, melewati perbatasan Provinsi Sulawesi Selatan – Sulawesi Tengah. Hari kedua mereka habiskan di Kabupaten Poso dengan menikmati indahnya danau Poso, danau terbesar di Sulawesi. Di hari ketiga mereka akhirnya tiba di Luwuk, Kabupaten Banggai. Tinggal selangkah lagi Aso akan menyentuhkan kaki di kampung tercintanya di seberang Kabupaten Banggai, di Pulau Peling, Banggai Kepulauan.

Sebelum menyeberang ke Pulau Peling, Aso dan Tenri menginap semalam di Luwuk. Aso mengajak Tenri menikmati indahnya kota kecil nan indah di penghujung timur Sulawesi itu. Di kota tersebut, Tenri mulai merasakan begitu banyak perbedaan suasana yang menyelimuti hatinya. Iya menemui orang-orang yang berbahasa berbeda dari bahasanya. Namun, ia tetap menikmati perjalanan indahnya itu. Lagipula, ada Aso yang selalu bersamanya dan menjadi guide baginya.

Keesokan harinya Aso dan Tenri berangkat menuju Pulau Peling, pulau yang juga disebut sebagai salah satu “mutiara” di kawasan timur Indonesia. Dengan menggunakan kapal kayu berukuran sedang, mereka melintasi selat Peleng, selat yang memisahkan pulau Peling dan daratan Sulawesi.

Kapal kayu berukuran sedang adalah transportasi utama bagi masyarakat pulau Peling yang ingin bertandang ke kota Luwuk. Kapal ini bisa menampung dua ratus penumpang. Waktu yang butuhkan oleh transportasi laut ini adalah 5 jam untuk mencapai pelabuhan Luwuk.

Temaram lampu-lampu kota Luwuk mulai menghilang di pelupuk mata Aso dan Tenri. Kapal telah menjauh dari pelabuhan Luwuk. Rindu Aso akan kampung halamannya sedikit demi sedikit terbayar dengan sentuhan angin malam selat Peling serta bunyi riak gelombang yang sesekali menghantam pinggir tubuh kapal, mengingatkan Aso yang semasa kecil sering bermain di sekitaran pantai di kampungnya, mendayung sampan, juga ikut memancing bersama anak-anak nelayan disana. Aso merasa seperti kembali ke masa-masa itu.

“Aso,,,Aso...!”

Panggilan Tenri membuyarkan lamunannya. “Aso kenapa?” Tanya Tenri.

“Tidak kok, Aso tidak kenapa-napa. Aso hanya teringat kembali kenangan masa kecil bersama teman-teman Aso. Yuk kita istirahat, masih beberapa jam lagi kapal mencapai pulau Peling.”

Mereka berdua meninggalkan ruangan belakang kapal yang terhubung dengan udara luar kemudian menuju palka. Mesin kapal semakin menderu-deru, menciptakan musik bising yang cukup memekakkan telinga. Disana-sini terlihat sebagian penumpang tengah beristirahat di bolsak-nya masing-masing. Sebagian pula tengah bercanda dan mengobrol dengan keluarga dan teman sesama penumpang. Ada pula penumpang lain yang memilih menikmati udara dingin malam di dek atas kapal yang terhubung dengan udara luar. Kapal bernama “Valentine II” itu terus melaju.

***


“Tenri,,,Tenri,,,bangun. Kita udah sampai.”

Tenri menggosok-gosok kedua matanya, ia bangkit dan mendongakkan kepalanya ke jendela kapal. Diluar masih gelap. Ia melirik jam tangannya, pukul 02.35. Kapal kayu itu telah merapat di bibir Pelabuhan Salakan. Para buruh pelabuhan saling mendahului memasuki kapal, berharap ketiban rejeki dari barang-barang para penumpang. Begitu pula para penumpang, mereka langsung memenuhi pintu keluar kapal sehingga terlihat berdesak-desakan dan gaduh.

“Welcome to Pulau Peling, the paradise of the East.” Ucap Aso di depan Tenri.
“Welcome to my beautiful village!” Ucapnya sekali lagi, sembari mecubit kedua pipi Tenri.

Tenri hanya membalas dengan senyuman. Rasa kantuknya belum menghilang. Mereka kemudian menaiki angkutan kota untuk menuju kampung Aso, sebuah kampung di kecamatan Liang di pulau Peling tersebut.

Ketika masih di Makassar, Aso telah menyusun rencana tentang apa yang akan mereka lakukan nanti di daerahnya tersebut. Sesuai rencana, mereka akan mengunjungi Gua Pentu, gua yang terletak di kecamatan Aso. Gua tersebut adalah bekas persembunyian para penduduk pribumi ketika masa penjajahan Jepang. Di gua ini terdapat beberapa stalagmit-stalagmit indah yang berbentuk patung manusia. Menurut cerita penduduk setempat, jika kita memasuki gua ini dan memikirkan hal-hal buruk di dalamnya, maka kita akan terkena pukulan atau tinju dari salah satu patung tersebut. Destinasi mereka pada hari pertama adalah gua ini.

Mereka juga akan mengunjungi danau Tendetung, danau yang mengering ketika bulan Desember dan akan berair lagi pada bulan Maret, makam dan keraton Raja Banggai di Pulau Banggai diseberang pulau Peling, mata air Luk Panenteng yang memesona, dan suku terasing di dataran tinggi pulau Peling, yakni suku Sea-sea. Namun, ada satu tempat wisata yang ingin sekali ditunjukkan Aso kepada Tenri, tempat wisata yang menyimpan sebuah cerita dan misteri yang indah. Tempat itu adalah kawasan Air Lemelu. Air Lemelu atau dalam bahasa Banggai disebut “Paisu Lemelu” adalah sebuah mata air yang muncul di tengah-tengah lembah dan mengalir dengan tenang diantara bebatuan yang rata. Air ini sangat jernih. Di siang hari, terpaan sinar matahari memancarkan warna biru berkilau-kilauan di permukaan air tersebut. Tempat ini merupakan salah satu tempat ter-unik di Pulau Peling atau bahkan di Indonesia Timur.

Semua tempat-tempat indah inilah yang menjadi alasan mengapa Tenri bersikeras untuk ikut bersama Aso ke daerahnya. Cerita-cerita Aso telah membuatnya semakin mencintai keindahan alam dan membuat ia ingin secepatnya melihat tempat-tempat luar biasa itu. Lagipula, seperti yang dijanjikan Aso, keindahan mata air Lemelu adalah kado spesial Aso untuk Tenri dalam rangka merayakan hubungan mereka yang telah memasuki tahun ketiga.

Di hari kelima, Aso dan Tenri mengunjungi Mata Air Lemelu. Dengan ditemani dua orang sepupu Aso, mereka berkendara menuju desa Lemelu. Dari desa Lemelu, dengan berjalan kaki selama satu jam menyusuri hutan dan menuruni bukit-bukit, mereka akhirnya tiba di tempat yang dinamakan Mata Air Lemelu itu. Keletihan mereka, juga mimpi Tenri akhirnya tercapai juga. Lokasi mata air indah itu sudah dalam pijakan kaki mereka. Sekelumit senyum terpatri di kedua sudut bibir Aso, juga sedikit butiran air mata berkilau merembes di pipinya.

“Tuhan, janjiku terpenuhi sudah. Akhirnya aku dan Tenri bisa melihat salah satu keindahan alammu ini, Tuhan.” Aso membatin.

Aso menarik tangan Tenri, kmudian mengajak mendekati bibir mata air berbatu itu.

“Ini salah satu tempat terindah di daerahku ini, Tenri.  Bebatu yang rata ini, air yang jernih dan tenang ini, adalah surga yang menyimpan misteri yang begitu indah. Mata air ini adalah mata air cinta, kebersamaan, persahabatan…Nanti akan kuceritakan padamu misteri itu, Tenri…” kata Aso sembari menatap Tenri yang sejak tadi masih terkagum-kagum dengan mata air Lemelu tersebut.

“Inilah hadiahku padamu, pada hubungan kita, Tenri.” Lanjut Aso lagi.

Kedua mata Tenri seketika langsung berkilau-kilau, hidungnya sembab. Ia tak bisa menahan haru, juga bahagia. Dalam batinnya, ini adalah hadiah terindah yang pernah ia dapatkan selama hidupnya.

“Ini benar-benar indah, Aso. Terima kasih, Aso. Terima kasih, Tuhan.”

Misteri yang dimaksudkan Aso akan Air Lemelu ini adalah cerita atau nunuton (dalam bahasa Banggai) masyarakat Desa Lemelu tentang asal mula terbentuknya mata air ini. Menurut cerita, dahulu kala, hiduplah dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Kedua anak ini selalu bersama, kemanapun mereka pergi hingga benih-benih cinta tumbuh diantara mereka. Suatu ketika mereka pun membuat janji untuk terus bersama sehidup semati. Janji itu diirarkan pada tujuh buah daun balande*. Kedua anak itu pun akhirnya tumbuh dewasa. Akan tetapi, seiring pertambahan usia mereka, kebersamaan mereka mulai memudar. Anak perempuan yang telah menjadi seorang gadis yang cantik itu akhirnya menikah dengan lelaki lain pilihan ayahnya. Janji semasa kecil mereka telah terlupakan.

Mengetahui keadaan tersebut, si anak laki-laki bersedih hati dan kecewa. Ia kemudian bersumpah dan mengutuk kekasihnya tersebut beserta keluarganya. Dengan kuasa Tuhan, petir datang menyambar, hujan turun dengan deras disusul angin kencang yang menghancurkan rumah kekasihnya hingga hancur berkeping-keping dan hanyut bersama aliran air. Konon, bagian-bagian rumah dan perabotnya tersebut akhirnya berubah menjadi bebatuan yang sekarang terhampar diseluruh lokasi Air Lemelu.

Cerita terbentuknya Air Lemelu ini masih dianggap sakral oleh sebagian masyarakat di daerah Lemelu. Konon, jika cerita ini diutarakan/diceritakan di Desa Lemelu maka akan terjadi angin kencang yang muncul seketika ataupun kilat yang saling sambar-menyambar.

Mata Air Lemelu ini masih tergolong sebagai tempat wisata yang belum terlalu terjamah dan tersohor di dunia luar. Selain lokasinya yang berada di daerah terpencil, akses menuju mata air tersebut juga terbatas. Disamping itu, promosi pemerintah setempat akan tempat-tempat wisata masih sangat minim. Ketika mengunjungi Mata Air Lemelu, Aso dan Tenri hanya menjumpai beberapa orang saja yang juga datang berwisata di tempat tersebut.

“Tenri, kisah Air Lemelu ini mengajarkan kita akan hakikat cinta juga janji. Setiap orang yang berjanji, harus menjaga dengan baik janji tersebut dan tidak pernah mengingkarnya. Begitu pula dengan cinta. Seseorang yang telah diberikan cinta dan kepercayaan, seharusnya menjaganya dan tidak menghancurkannya.” Kata Aso pada Tenri di malam terakhir sebelum kepulangan Tenri ke Makassar.

“Semoga cinta, kasih sayang, dan hubungan kita ini abadi selamanya, Tenri. Kita belajar pada Air Lemelu yang selalu tenang dan mengalir terus-menerus sepanjang masa. Kita belajar pada bebatuannya yang kokoh dan tegar. Kita belajar pada alam yang senantiasa menyuguhkan kita keindahan untuk dinikmati…” Aso lanjut lagi.

“Aku juga berharap demikian, Aso. Aku sangat mencintaimu.” Tenri langsung memeluk Aso. Kedua lengannya erat-erat mengapit tubuh pemuda itu. Pundak Aso basah seketika oleh tumpahan air mata Tenri.

“Aku juga sangat mencintaimu, Tenri.”

***

Tenri menarik selimut ke dada, ia sudah ingin memejamkan mata tapi pandangannya kembali tertuju pada foto di atas meja tadi, foto sewaktu ia bersama Aso berdiri di atas batu di Mata Air Lemelu.

Segala yang terlukis dalam foto itu telah menjadi kenangan, kenangan yang benar-benar indah. Aso dan hubungan mereka berdua pun telah menjadi kenangan. Tenri sekarang tak dapat lagi bertemu dengan Aso, tak dapat berwisata lagi bersama. Gadis Bugis Bulukumba itu kini lebih sering menyendiri, berdiam di dalam kamarnya. Kesedihan telah menikam dalam-dalam hatinya. Ia telah kehilangan seorang Aso, pemuda yang telah membuat hidupnya berwarna dan lebih berarti.

Enam bulan yang lalu, Aso meninggal dunia dalam perjalanannya mendaki Gunung Tompotika, gunung yang dianggap keramat di dataran Balantak, Luwuk, Sulawesi Tengah. Sejak dahulu, selama bertahun-tahun, Gunung Tompotika belum pernah terjamah dan didaki. Hutan-hutan disekitarnya masih perawan. Sebagian hewan yang menghuni kawasan gunung tersebut masih liar. Aso bersama beberapa temannya dari Mapala Universitas Tadulako mencoba mendaki gunung tersebut tanpa menghiraukan himbauan masyarakat sekitar akan kesakralan gunung tersebut. Pantangan memang tak dapat dilanggar, ajal pun tak dapat ditolak, Aso dan salah seorang temannya mengalami kedinginan yang sangat parah. Nyawa mereka tak dapat tertolong. Mereka menghembuskan nafas terakhir sebelum mencapai puncak Gunung Tompotika. Pendakian itu akhirnya dibatalkan.

“Selamat malam Aso, semoga kau tenang disana, di tempat yang jauh dan indah.” Tenri mematikan lampu di samping tempat tidurnya kemudian menutup mata.

…oo0oo…


Catatan (*) :
-          Mammiri          : berhembus (bhs. Makassar)
-          Tongkonan      : rumah adat suku Toraja, Sulawesi Selatan
-          Balande           : sejenis tumbuhan yang berpohon sedang, daunnya berukuran sedang dan
berbentuk hati, tumbuh di hampir seluruh perbukitan di Pulau Peling, Sulawesi Tengah.


Foto-foto air lemelu di desa Lemelu, Pulau Peling, Sulawesi Tengah.



 


Sepenggal Kata

Menulislah, maka anda akan meraba dunia, dan membacalah maka anda akan melihat dunia...

READ

......
Template Oleh trikmudahseo