"Nominasi 50 besar Cerpen Non-fiksi Lomba Tulis Nusantara 2013"
“Ini salah satu tempat terindah di daerahku ini, Tenri. Bebatu yang rata ini, air yang jernih dan tenang ini, adalah surga yang menyimpan misteri yang begitu indah. Mata air ini adalah mata air cinta, kebersamaan, persahabatan…Nanti akan kuceritakan padamu misteri itu, Tenri…”
Oleh: Abdi Masbara Lumbon
Tenri
menarik foto berbalut bingkai kuning keemasan yang terpajang di mejanya. Ia
menatap dalam-dalam foto itu, memeluknya erat-erat…
“Ini salah satu tempat terindah di daerahku ini, Tenri. Bebatu yang rata ini, air yang jernih dan tenang ini, adalah surga yang menyimpan misteri yang begitu indah. Mata air ini adalah mata air cinta, kebersamaan, persahabatan…Nanti akan kuceritakan padamu misteri itu, Tenri…”
Tenri meniru kata-kata yang
diucapkan Aso ketika mereka menginjakkan kaki di Mata Air Lemelu, salah satu
daerah wisata di Pulau Peling di timur Sulawesi yang menyajikan jutaan
keindahan alam yang memesona dan luar biasa.
Tenri memandang keluar jendela. Gadis
Bugis berkulit sawo matang itu tengah mengingat halaman demi halaman memori
tentang perjalanannya menjamah hampir setengah pulau Sulawesi bersama
kekasihnya, Aso, seorang lelaki berdarah Banggai-Ambon yang ia temui di bangku
kuliah di kampusnya di Makassar, Sulawesi Selatan. Mereka berdua sangat
mencintai travelling. Itulah awal
mula mereka mengukir memori-memori indah bersama – melakukan travelling,
menikmati keindahan alam titipan Tuhan yang tertabur di Sulawesi.
Angin sepoi malam membelai lembut pipi
Tenri. Dingin. Cuaca malam ini sedikit tidak bersahabat, langit menghitam.
Tenri menarik jendela. Diluar sana bulir-bulir air hujan mulai berjatuhan.
Gadis itu langsung menuju ke tempat tidur dan berbaring. Sebelum tidur, Ia kembali
memutar jutaan screen dalam memorinya tentang perjalanannya dengan Aso lima
tahun yang lalu.
Aso, anak seorang pedagang di Pulau
Peling, Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah, adalah seorang anak laki-laki
pencinta alam. Sangat jarang ditemui seorang lelaki yang mempunyai sifat
seperti Aso. Ketika sebagian remaja seusianya sibuk memuja produk globalisasi,
bermain jejaring sosial, keluyuran, Aso lebih memilih bermain dengan alam,
menikmati, hingga menjaga kelestariannya. Itulah akhirnya ia mengambil jurusan
geografi dengan alasannya untuk memahami alam, hingga ia nekat menolak jurusan
pilihan ayahnya, Teknik Sipil. Aso banyak menghabiskan waktu luang dan liburnya
untuk berwisata, mengunjungi tempat-tempat indah, terutama di daerah tempat ia
berkuliah, di Sulawesi Selatan. Bersama Tenri, ia telah mengunjungi
Takabonerate di Pulau Selayar yang merupakan surga laut di Sulawesi Selatan.
Mereka juga telah mencicipi keindahan Pantai Tanjung Bira, yakni pantai
berpasir putih bersih yang hanya berjarak beberapa kilometer dari kampung
halaman Tenri di Bulukumba.
Suatu waktu Aso dan Tenri juga telah
menikmati keindahan pulau Samalona, sebuah pulau kecil yang dilumuri pasir
putih berkilauan yang juga menyajikan keindahan biota laut yang indah. Pulau
ini ditempuh sekitar setengah jam dari Pelabuhan Makassar degan menggunakan
kapal kayu. Aso dan Tenri menikmati sore yang indah disana, melihat orang-orang
memacu speed boat yang menderu-deru,
orang-orang ber-snorkeling, adapula
yang berfoto ria mengabadikan keindahan pulau tersebut. Aso mengajak Tenri
menyaksikan matahari terbenam yang memerah hingga tenggelam di atas permukaan
laut nun jauh disana, menghabiskan malam, dan bernyanyi-nyanyi di pantai
menikmati angin mammiri* Pantai Samalona.
“Tenri, maukah kau ikut ke daerahku? Menjamah
keindahan alam disana? Masih banyak surga-surga alam yang belum kau saksikan,
terutama di daerahku, di penghujung timur Sulawesi.”
Tenri mengangguk, ia memandang Aso
dalam-dalam. “Aku akan ikut, Aso…”
Seperti kebiasaannya sedari dulu semenjak
bersama Aso, Tenri tidak pernah menolak ajakan Aso, terutama jika ajakan itu
tentang perjalanan-perjalanan untuk menikmati keindahan alam dan objek-objek
wisata. Mereka berdua memang klop, sama-sama mencintai dan menikmati alam.
Ketika
ujian semester telah usai, liburan panjang menyapa. Tenri telah mempersiapkan
diri untuk perjalanan panjangnya mengunjungi daerah Aso di kepulauan Banggai,
Sulawesi Tengah. Ia akan memasuki provinsi baru, daerah baru, yang tentunya
suasananya pun baru. Tenri juga sempat memikirkan keindahan-keindahan alam baru
yang akan disaksikannya disana.
Dengan
bekal izin dari orang tua Tenri, mereka memulai perjalanan meninggalkan
Makassar dengan menaiki bis tujuan Kabupaten Toraja. Aso sengaja memilih bis dengan
trayek menuju Toraja agar ia dan Tenri bisa singgah sebentar menikmati
keindahan alam dan etnis Tana Toraja, yang juga merupakan salah satu objek
wisata di Sulawesi Selatan. Maklum, selama beberapa tahun berkuliah di
Makassar, Aso belum pernah mengunjungi daerah Toraja. Begitu pula Tenri,
sekalipun ia sudah bertahun-tahun hidup dan tinggal di Makassar, ia tak pernah
mengunjungi Toraja. Di Toraja mereka mengunjungi kuburan-kuburan batu, melihat
keindahan rumah-rumah Tongkonan* di Makale, juga menyaksikan alam Tana Toraja
yang masih menghijau. Dari Toraja, mereka melanjutkan kembali perjalanan,
melewati perbatasan Provinsi Sulawesi Selatan – Sulawesi Tengah. Hari kedua
mereka habiskan di Kabupaten Poso dengan menikmati indahnya danau Poso, danau
terbesar di Sulawesi. Di hari ketiga mereka akhirnya tiba di Luwuk, Kabupaten
Banggai. Tinggal selangkah lagi Aso akan menyentuhkan kaki di kampung
tercintanya di seberang Kabupaten Banggai, di Pulau Peling, Banggai Kepulauan.
Sebelum
menyeberang ke Pulau Peling, Aso dan Tenri menginap semalam di Luwuk. Aso
mengajak Tenri menikmati indahnya kota kecil nan indah di penghujung timur
Sulawesi itu. Di kota tersebut, Tenri mulai merasakan begitu banyak perbedaan
suasana yang menyelimuti hatinya. Iya menemui orang-orang yang berbahasa
berbeda dari bahasanya. Namun, ia tetap menikmati perjalanan indahnya itu.
Lagipula, ada Aso yang selalu bersamanya dan menjadi guide baginya.
Keesokan
harinya Aso dan Tenri berangkat menuju Pulau Peling, pulau yang juga disebut
sebagai salah satu “mutiara” di kawasan timur Indonesia. Dengan menggunakan
kapal kayu berukuran sedang, mereka melintasi selat Peleng, selat yang
memisahkan pulau Peling dan daratan Sulawesi.
Kapal
kayu berukuran sedang adalah transportasi utama bagi masyarakat pulau Peling
yang ingin bertandang ke kota Luwuk. Kapal ini bisa menampung dua ratus
penumpang. Waktu yang butuhkan oleh transportasi laut ini adalah 5 jam untuk
mencapai pelabuhan Luwuk.
Temaram
lampu-lampu kota Luwuk mulai menghilang di pelupuk mata Aso dan Tenri. Kapal
telah menjauh dari pelabuhan Luwuk. Rindu Aso akan kampung halamannya sedikit
demi sedikit terbayar dengan sentuhan angin malam selat Peling serta bunyi riak
gelombang yang sesekali menghantam pinggir tubuh kapal, mengingatkan Aso yang
semasa kecil sering bermain di sekitaran pantai di kampungnya, mendayung sampan,
juga ikut memancing bersama anak-anak nelayan disana. Aso merasa seperti
kembali ke masa-masa itu.
“Aso,,,Aso...!”
Panggilan
Tenri membuyarkan lamunannya. “Aso kenapa?” Tanya Tenri.
“Tidak
kok, Aso tidak kenapa-napa. Aso hanya teringat kembali kenangan masa kecil bersama
teman-teman Aso. Yuk kita istirahat, masih beberapa jam lagi kapal mencapai
pulau Peling.”
Mereka
berdua meninggalkan ruangan belakang kapal yang terhubung dengan udara luar
kemudian menuju palka. Mesin kapal semakin menderu-deru, menciptakan musik
bising yang cukup memekakkan telinga. Disana-sini terlihat sebagian penumpang
tengah beristirahat di bolsak-nya
masing-masing. Sebagian pula tengah bercanda dan mengobrol dengan keluarga dan
teman sesama penumpang. Ada pula penumpang lain yang memilih menikmati udara
dingin malam di dek atas kapal yang terhubung dengan udara luar. Kapal bernama
“Valentine II” itu terus melaju.
***
“Tenri,,,Tenri,,,bangun.
Kita udah sampai.”
Tenri
menggosok-gosok kedua matanya, ia bangkit dan mendongakkan kepalanya ke jendela
kapal. Diluar masih gelap. Ia melirik jam tangannya, pukul 02.35. Kapal kayu
itu telah merapat di bibir Pelabuhan Salakan. Para buruh pelabuhan saling
mendahului memasuki kapal, berharap ketiban rejeki dari barang-barang para
penumpang. Begitu pula para penumpang, mereka langsung memenuhi pintu keluar
kapal sehingga terlihat berdesak-desakan dan gaduh.
“Welcome
to Pulau Peling, the paradise of the East.” Ucap Aso di depan Tenri.
“Welcome
to my beautiful village!” Ucapnya sekali lagi, sembari mecubit kedua pipi Tenri.
Tenri hanya membalas dengan senyuman. Rasa kantuknya belum menghilang. Mereka kemudian menaiki angkutan kota untuk menuju kampung Aso, sebuah kampung di kecamatan Liang di pulau Peling tersebut.
Tenri hanya membalas dengan senyuman. Rasa kantuknya belum menghilang. Mereka kemudian menaiki angkutan kota untuk menuju kampung Aso, sebuah kampung di kecamatan Liang di pulau Peling tersebut.
Ketika
masih di Makassar, Aso telah menyusun rencana tentang apa yang akan mereka
lakukan nanti di daerahnya tersebut. Sesuai rencana, mereka akan mengunjungi
Gua Pentu, gua yang terletak di kecamatan Aso. Gua tersebut adalah bekas
persembunyian para penduduk pribumi ketika masa penjajahan Jepang. Di gua ini
terdapat beberapa stalagmit-stalagmit indah yang berbentuk patung manusia.
Menurut cerita penduduk setempat, jika kita memasuki gua ini dan memikirkan
hal-hal buruk di dalamnya, maka kita akan terkena pukulan atau tinju dari salah
satu patung tersebut. Destinasi mereka pada hari pertama adalah gua ini.
Mereka
juga akan mengunjungi danau Tendetung, danau yang mengering ketika bulan
Desember dan akan berair lagi pada bulan Maret, makam dan keraton Raja Banggai
di Pulau Banggai diseberang pulau Peling, mata air Luk Panenteng yang memesona,
dan suku terasing di dataran tinggi pulau Peling, yakni suku Sea-sea. Namun,
ada satu tempat wisata yang ingin sekali ditunjukkan Aso kepada Tenri, tempat
wisata yang menyimpan sebuah cerita dan misteri yang indah. Tempat itu adalah
kawasan Air Lemelu. Air Lemelu atau dalam bahasa Banggai disebut “Paisu Lemelu”
adalah sebuah mata air yang muncul di tengah-tengah lembah dan mengalir dengan
tenang diantara bebatuan yang rata. Air ini sangat jernih. Di siang hari,
terpaan sinar matahari memancarkan warna biru berkilau-kilauan di permukaan air
tersebut. Tempat ini merupakan salah satu tempat ter-unik di Pulau Peling atau
bahkan di Indonesia Timur.
Semua
tempat-tempat indah inilah yang menjadi alasan mengapa Tenri bersikeras untuk ikut
bersama Aso ke daerahnya. Cerita-cerita Aso telah membuatnya semakin mencintai
keindahan alam dan membuat ia ingin secepatnya melihat tempat-tempat luar biasa
itu. Lagipula, seperti yang dijanjikan Aso, keindahan mata air Lemelu adalah
kado spesial Aso untuk Tenri dalam rangka merayakan hubungan mereka yang telah
memasuki tahun ketiga.
Di
hari kelima, Aso dan Tenri mengunjungi Mata Air Lemelu. Dengan ditemani dua
orang sepupu Aso, mereka berkendara menuju desa Lemelu. Dari desa Lemelu,
dengan berjalan kaki selama satu jam menyusuri hutan dan menuruni bukit-bukit,
mereka akhirnya tiba di tempat yang dinamakan Mata Air Lemelu itu. Keletihan
mereka, juga mimpi Tenri akhirnya tercapai juga. Lokasi mata air indah itu
sudah dalam pijakan kaki mereka. Sekelumit senyum terpatri di kedua sudut bibir
Aso, juga sedikit butiran air mata berkilau merembes di pipinya.
“Tuhan,
janjiku terpenuhi sudah. Akhirnya aku dan Tenri bisa melihat salah satu
keindahan alammu ini, Tuhan.” Aso membatin.
Aso
menarik tangan Tenri, kmudian mengajak mendekati bibir mata air berbatu itu.
“Ini
salah satu tempat terindah di daerahku ini, Tenri. Bebatu yang rata ini, air yang jernih dan
tenang ini, adalah surga yang menyimpan misteri yang begitu indah. Mata air ini
adalah mata air cinta, kebersamaan, persahabatan…Nanti akan kuceritakan padamu
misteri itu, Tenri…” kata Aso sembari menatap Tenri yang sejak tadi masih
terkagum-kagum dengan mata air Lemelu tersebut.
“Inilah
hadiahku padamu, pada hubungan kita, Tenri.” Lanjut Aso lagi.
Kedua
mata Tenri seketika langsung berkilau-kilau, hidungnya sembab. Ia tak bisa
menahan haru, juga bahagia. Dalam batinnya, ini adalah hadiah terindah yang
pernah ia dapatkan selama hidupnya.
“Ini benar-benar indah, Aso. Terima kasih, Aso. Terima kasih, Tuhan.”
Misteri yang dimaksudkan Aso akan Air Lemelu ini adalah cerita atau nunuton (dalam bahasa Banggai) masyarakat Desa Lemelu tentang asal mula terbentuknya mata air ini. Menurut cerita, dahulu kala, hiduplah dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Kedua anak ini selalu bersama, kemanapun mereka pergi hingga benih-benih cinta tumbuh diantara mereka. Suatu ketika mereka pun membuat janji untuk terus bersama sehidup semati. Janji itu diirarkan pada tujuh buah daun balande*. Kedua anak itu pun akhirnya tumbuh dewasa. Akan tetapi, seiring pertambahan usia mereka, kebersamaan mereka mulai memudar. Anak perempuan yang telah menjadi seorang gadis yang cantik itu akhirnya menikah dengan lelaki lain pilihan ayahnya. Janji semasa kecil mereka telah terlupakan.
“Ini benar-benar indah, Aso. Terima kasih, Aso. Terima kasih, Tuhan.”
Misteri yang dimaksudkan Aso akan Air Lemelu ini adalah cerita atau nunuton (dalam bahasa Banggai) masyarakat Desa Lemelu tentang asal mula terbentuknya mata air ini. Menurut cerita, dahulu kala, hiduplah dua orang anak, laki-laki dan perempuan. Kedua anak ini selalu bersama, kemanapun mereka pergi hingga benih-benih cinta tumbuh diantara mereka. Suatu ketika mereka pun membuat janji untuk terus bersama sehidup semati. Janji itu diirarkan pada tujuh buah daun balande*. Kedua anak itu pun akhirnya tumbuh dewasa. Akan tetapi, seiring pertambahan usia mereka, kebersamaan mereka mulai memudar. Anak perempuan yang telah menjadi seorang gadis yang cantik itu akhirnya menikah dengan lelaki lain pilihan ayahnya. Janji semasa kecil mereka telah terlupakan.
Mengetahui
keadaan tersebut, si anak laki-laki bersedih hati dan kecewa. Ia kemudian
bersumpah dan mengutuk kekasihnya tersebut beserta keluarganya. Dengan kuasa
Tuhan, petir datang menyambar, hujan turun dengan deras disusul angin kencang
yang menghancurkan rumah kekasihnya hingga hancur berkeping-keping dan hanyut
bersama aliran air. Konon, bagian-bagian rumah dan perabotnya tersebut akhirnya
berubah menjadi bebatuan yang sekarang terhampar diseluruh lokasi Air Lemelu.
Cerita
terbentuknya Air Lemelu ini masih dianggap sakral oleh sebagian masyarakat di
daerah Lemelu. Konon, jika cerita ini diutarakan/diceritakan di Desa Lemelu
maka akan terjadi angin kencang yang muncul seketika ataupun kilat yang saling
sambar-menyambar.
Mata
Air Lemelu ini masih tergolong sebagai tempat wisata yang belum terlalu
terjamah dan tersohor di dunia luar. Selain lokasinya yang berada di daerah
terpencil, akses menuju mata air tersebut juga terbatas. Disamping itu, promosi
pemerintah setempat akan tempat-tempat wisata masih sangat minim. Ketika
mengunjungi Mata Air Lemelu, Aso dan Tenri hanya menjumpai beberapa orang saja
yang juga datang berwisata di tempat tersebut.
“Tenri,
kisah Air Lemelu ini mengajarkan kita akan hakikat cinta juga janji. Setiap
orang yang berjanji, harus menjaga dengan baik janji tersebut dan tidak pernah
mengingkarnya. Begitu pula dengan cinta. Seseorang yang telah diberikan cinta
dan kepercayaan, seharusnya menjaganya dan tidak menghancurkannya.” Kata Aso
pada Tenri di malam terakhir sebelum kepulangan Tenri ke Makassar.
“Semoga
cinta, kasih sayang, dan hubungan kita ini abadi selamanya, Tenri. Kita belajar
pada Air Lemelu yang selalu tenang dan mengalir terus-menerus sepanjang masa.
Kita belajar pada bebatuannya yang kokoh dan tegar. Kita belajar pada alam yang
senantiasa menyuguhkan kita keindahan untuk dinikmati…” Aso lanjut lagi.
“Aku juga berharap demikian, Aso. Aku sangat mencintaimu.” Tenri langsung memeluk Aso. Kedua lengannya erat-erat mengapit tubuh pemuda itu. Pundak Aso basah seketika oleh tumpahan air mata Tenri.
“Aku juga sangat mencintaimu, Tenri.”
“Aku juga berharap demikian, Aso. Aku sangat mencintaimu.” Tenri langsung memeluk Aso. Kedua lengannya erat-erat mengapit tubuh pemuda itu. Pundak Aso basah seketika oleh tumpahan air mata Tenri.
“Aku juga sangat mencintaimu, Tenri.”
***
Tenri
menarik selimut ke dada, ia sudah ingin memejamkan mata tapi pandangannya
kembali tertuju pada foto di atas meja tadi, foto sewaktu ia bersama Aso
berdiri di atas batu di Mata Air Lemelu.
Segala
yang terlukis dalam foto itu telah menjadi kenangan, kenangan yang benar-benar
indah. Aso dan hubungan mereka berdua pun telah menjadi kenangan. Tenri
sekarang tak dapat lagi bertemu dengan Aso, tak dapat berwisata lagi bersama.
Gadis Bugis Bulukumba itu kini lebih sering menyendiri, berdiam di dalam
kamarnya. Kesedihan telah menikam dalam-dalam hatinya. Ia telah kehilangan
seorang Aso, pemuda yang telah membuat hidupnya berwarna dan lebih berarti.
Enam
bulan yang lalu, Aso meninggal dunia dalam perjalanannya mendaki Gunung
Tompotika, gunung yang dianggap keramat di dataran Balantak, Luwuk, Sulawesi
Tengah. Sejak dahulu, selama bertahun-tahun, Gunung Tompotika belum pernah
terjamah dan didaki. Hutan-hutan disekitarnya masih perawan. Sebagian hewan
yang menghuni kawasan gunung tersebut masih liar. Aso bersama beberapa temannya
dari Mapala Universitas Tadulako mencoba mendaki gunung tersebut tanpa
menghiraukan himbauan masyarakat sekitar akan kesakralan gunung tersebut.
Pantangan memang tak dapat dilanggar, ajal pun tak dapat ditolak, Aso dan salah
seorang temannya mengalami kedinginan yang sangat parah. Nyawa mereka tak dapat
tertolong. Mereka menghembuskan nafas terakhir sebelum mencapai puncak Gunung
Tompotika. Pendakian itu akhirnya dibatalkan.
“Selamat
malam Aso, semoga kau tenang disana, di tempat yang jauh dan indah.” Tenri
mematikan lampu di samping tempat tidurnya kemudian menutup mata.
…oo0oo…
Catatan
(*) :
-
Mammiri : berhembus (bhs. Makassar)
-
Tongkonan : rumah adat suku Toraja, Sulawesi Selatan
-
Balande : sejenis tumbuhan yang berpohon
sedang, daunnya berukuran sedang dan
berbentuk hati, tumbuh di hampir seluruh
perbukitan di Pulau Peling,
Sulawesi
Tengah.
Foto-foto air lemelu di desa Lemelu, Pulau Peling, Sulawesi Tengah.
4 komentar
mantap....
perfeck..!!!!
Boleh minta kontak mas abdi lumbon?
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Jempol buat Bang Abdi lumbon dengan ceritanya!
Salam Paulipu..!
Silahkan Beri Komentar Saudara...